Di antara perkataan a-immatussalaf kepada anaknya adalah:

يا بني لأن تتعلم باباً من الأدب أحب إليَّ من أن تتعلم سبعين باباً من أبواب الفقه

“Wahai anakku satu bab kamu pelajari tentang adab maka itu jauh lebih aku cintai daripada kamu pelajari tujuh puluh bab dari fiqih (dari ilmu).”

[Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah bahwa mereka (as-salafush shalih) melakukan rihlah (perjalanan) untuk mempelajari adab selama dua puluh tahun lamanya, kemudian mereka rihlah mencari ilmu selama sepuluh tahun.]

2010-06-29

Jilbab Pertamaku...


إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له من يضلل فلا هاديله، وأشهد أن لا إلـه إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
Segala puji bagi Allah, kita memujinya, memohon pertolongan dan ampunan kepadaNya kita berlindung kepada Allah dari kejahaan diri kita dan kejelekan amalan-amalan kita, barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah hamba dan utusan Allah.

يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله حق تقاته، ولاتموتن إلاوأنتم مسلمون۝
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (QS. Ali ‘Imran : 102)

يأيهاالناس اتقواربكم الذى خلقكم من نفس وحدة وخلق منهازوجها وبث منهمارجالاكثيرا ونساءۚ واتقوا الله الذى تساءلون به والأرحامۚ إن الله كان عليكم رقيبا۝
“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripadanya keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) NamaNya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silahturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisa’ :1)

يأيهاالذين ءامنوا اتقوا الله وقولوقولاسديدا۝ يصلح لكم أعملكم ويغفرلكم ذنوبكمۗ ومن يطع الله ورسوله، فقدفازفوزاعظيما۝
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu sosa-dosamu dan barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
(QS. Al-Ahzaab : 70-71)


Amma ba’du :
فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشرالأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فيالنار.

“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu ditempatnya di Neraka.”
*Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah, yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Sahabatnya. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Sahabat Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097, 2118), an-Nasa-I (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214, VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini shahih.


Bagi sebagian orang, masa SMA adalah masa-masa indah yang sulit terlupakan. Hal itu terjadi juga pada diriku. Bagiku masa-masa SMA adalah masa yang paling berarti bagiku. Saat-saat dimana aku mendapatkan hidayah. Walhamdulillah wasyukurillah… Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ya, hidayah adalah misteri… Misteri dimana hanya Allah Yang Tahu kepada siapa akan diberikan hidayah tersebut.

Hidayah itu datang ketika saya duduk di bangku kelas 2 SMA. Saat itu, tepatnya saat saya sedang beranjak tidur pada malam hari yang sudah sangat larut. Tapi entah kenapa mata saya tidak mau terpejam dan hati saya gundah, tidak tenang. Pikiran saya bercabang dan berpikir kemana-mana, saat itu pikiran saya bahwa saya seakan-akan ditunjukkan akan siksa neraka bagi seorang wanita yang tidak mau menutup auratnya, karena saat itu saya memang belum berjilbab meskipun sehari-harinya saya berpakaian yang tertutup bagi orang-orang yang belum berjilbab (celana panjang, kaos panjang). Saya tidak bisa terpejam dan pikiran saya tertuju pada siksa-siksa atas wanita-wanita yg tidak mau menutup auratnya bagaimana seakan-akan tombak menembus tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, naudzubillah...

Saya merasa takut, takut untuk menutup mata hingga saya merasa tidak akan pernah bangun lagi untuk selamanya... dan rasa malu yang sangat besar pada diri saya, bagaimana ketika saya meninggal nanti saya tidak dalam ketaatan pada Allah Azza Wa Jalla, saya tidak menutup aurat saya, nauzubillah... Tidakkah malukah saya pada Allah? Bagaimana saya bisa menghadap kepada Allah dalam keadaan seperti ini? Ya Allah... Saya pun hanya bisa berdoa dan keinginan untuk berjilbab itu datang begitu saja tanpa saya sangka ternyata Allah masih sangat menyayangi saya, hidayah itu menyapa saya dan saya pun segera menyambutnya...

Keesokan paginya saya langsung bangun dan memantapkan hati untuk memakai jilbab, tidak peduli bagaimana nantinya akan tanggapan orang dan apapun, dan hari itu juga saya dengan ibu saya langsung pergi ke toko untuk membeli seragam muslim. Subhanallah, perasaan saya ketika baru pertama kali berjilbab adalah sebuah perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, baru kali ini saya merasakan perasaan seperti ini, perasaan tenang dan nyaman melebihi rasa-rasa tenang dan nyaman yang selama ini saya rasakan...

Saat pertama kali memakai jilbab ke sekolah, teman-teman sekelas pun kaget dan mengira bahwa saya adalah teman sekelas saya yang satu lagi, yang sama-sama memakai jilbab juga dan anggota ROHIS juga. Bahkan teman sebangku saya sempat pangling nyariin saya...

Subhanallah...
Sebuah ini adalah awal dari sebuah perjalanan, perjalanan dalam meniti jalan kebenaran... Ya Allah...karuniakanlah kepadaku keistiqomahan, kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani ujian dan halangan yang melintang... Allahumma Amin..

Ingatkah kau wahai ukhti muslimah?
Dalam Tanzil-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Al-Baqarah: 213)

Fadhilatusy Syaikh Al-‘Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya bahwa hidayah di sini maknanya adalah petunjuk dan taufik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan hidayah ini kepada orang yang pantas mendapatkannya, karena segala sesuatu yang dikaitkan dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala maka mesti mengikuti hikmah-Nya. Siapa yang beroleh hidayah maka memang ia pantas mendapatkannya. (Tafsir Al-Qur’anil Karim, 3/31)

Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan ayat وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ beliau berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak meletakkan hidayah di dalam hati kecuali kepada orang yang pantas mendapatkannya. Adapun orang yang tidak pantas memperolehnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkannya beroleh hidayah tersebut. Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Memiliki hikmah, Maha Mulia lagi Maha Tinggi, tidak memberikan hidayah hati kepada setiap orang, namun hanya diberikannya kepada orang yang diketahui-Nya berhak mendapatkannya dan dia memang pantas. Sementara orang yang Dia ketahui tidak pantas beroleh hidayah dan tidak cocok, maka diharamkan dari hidayah tersebut.” Sungguh luar biasa kekuasaan Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
"Sesungguhnya Engkau (wahai Muhammad) tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang Engkau cintai, akan tetapi Allah memberi hidayah pada siapa yang Dia kehendaki dan Dia Maha Tahu siapa saja mereka yang mendapatkan hidayah." (Al Qhosos 56)

Allah Ta'ala juga berfirman,
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
"Bukan kewajibanmu agar mereka mendapatkan hidayah. Akan tetapi Allah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki" (Al Baqoroh 272)

Memang, Allah Ta'ala juga berfirman,
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
"Dan sesungguhnya Engkau (wahai Muhammad) benar-benar memberi hidayah kepada jalan yang lurus" (Asy Syuro 52)

Asy-Syaikh yang mulia melanjutkan, “Di antara sebab terhalangnya seseorang dari beroleh hidayah adalah fanatik terhadap kebatilan dan semangat kesukuan, partai, golongan, dan semisalnya. Semua ini menjadi sebab seseorang tidak mendapatkan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang kebenaran telah jelas baginya namun tidak menerimanya, ia akan dihukum dengan terhalang dari hidayah. Ia dihukum dengan penyimpangan dan kesesatan, dan setelah itu ia tidak dapat menerima al-haq lagi. Maka di sini ada hasungan kepada orang yang telah sampai al-haq kepadanya untuk bersegera menerimanya. Jangan sampai ia menundanya atau mau pikir-pikir dahulu, karena kalau ia menundanya maka ia memang pantas diharamkan/dihalangi dari hidayah tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ

“Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati-hati mereka.” (Ash-Shaf:5)

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ

“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada awal kalinya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al-An’am:110) [I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 1/357]

Perlu engkau ketahui, hidayah itu ada dua macam:

1. Hidayah yang bisa diberikan oleh makhluk, baik dari kalangan para nabi dan rasul, para da’i atau selain mereka. Ini dinamakan hidayah irsyad (bimbingan), dakwah dan bayan (keterangan). Hidayah inilah yang disebutkan dalam ayat:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) benar-benar memberi hidayah/petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)

2. Hidayah yang hanya bisa diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak selain-Nya. Ini dinamakan hidayah taufik. Hidayah inilah yang ditiadakan pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, terlebih selain beliau, dalam ayat:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) tidak dapat memberi hidayah/petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Qashash: 56)

Yang namanya manusia, baik ia da’i atau selainnya, hanya dapat membuka jalan di hadapan sesamanya. Ia memberikan penerangan dan bimbingan kepada mereka, mengajari mereka mana yang benar, mana yang salah. Adapun memasukkan orang lain ke dalam hidayah dan memasukkan iman ke dalam hati, maka tak ada seorang pun yang kuasa melakukannya, karena ini hak Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. (Al-Qaulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Ibnu Utsaimin, sebagaimana dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il beliau 9/340-341)

Akan tetapi, hidayah yang dimaksud di atas ini adalah hidayah yang berupa petunjuk, bimbingan, dan penjelasan kepada umat tentang jalan yang lurus yaitu Islam. Sedangkan hidayah yang berupa taufik dari Allah, berupa penerimaan seseorang terhadap dakwah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengambilnya sebagai pedoman hidupnya, adalah kehendak Allah semata. Siapa yang Allah kehendaki untuk mendapatkan hidayah, maka dia akan mendapatkannya, siapapun dia dan di manapun dia. Siapa yang Allah tidak kehendaki untuk mendapatkan hidayah, maka tidak akan dia mendapatkannya, siapapun dan di manapun dia.

Aku pertama kali memakai jilbab saat kelas 2 SMA. Pertama kali masih pendek tapi sudah menutupi dada (belum sepanjang sekarang). Karena memang sudah tahu kalau kerudung haruslah menutupi dada, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا…
“Katakanlah kepada para wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…..” (QS. An-Nur: 31)

Berkata Ath-Thabary rahimahullahu:
وليلقين خُمُرهنّ …على جيوبهنّ، ليسترن بذلك شعورهنّ وأعناقهن وقُرْطَهُنَّ
“Hendaknya mereka melemparkan khimar-khimar mereka di atas celah pakaian mereka supaya mereka bisa menutupi rambut, leher , dan anting-anting mereka.” (Jami’ul Bayan 17/262, tahqiq Abdullah At-Turky)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:
يعني: المقانع يعمل لها صَنفات ضاربات على صدور النساء، لتواري ما تحتها من صدرها وترائبها؛ ليخالفن شعارَ نساء أهل الجاهلية، فإنهن لم يكن يفعلن ذلك، بل كانت المرأة تمر بين الرجال مسفحة بصدرها، لا يواريه شيء، وربما أظهرت عنقها وذوائب شعرها وأقرطة آذانها. …والخُمُر: جمع خِمار، وهو ما يُخَمر به، أي: يغطى به الرأس، وهي التي تسميها الناس المقانع

“Khimar, nama lainnya adalah Al-Maqani’, yaitu kain yang memiliki ujung-ujung yang dijulurkan ke dada wanita, untuk menutupi dada dan payudaranya, hal ini dilakukan untuk menyelisihi syi’ar wanita jahiliyyah karena mereka tidak melakukan yang demikian, bahkan wanita jahiliyyah dahulu melewati para lelaki dalam keadaan terbuka dadanya, tidak tertutupi sesuatu, terkadang memperlihatkan lehernya dan ikatan-ikatan rambutnya, dan anting-anting yang ada di telinganya. Dan khumur adalah jama’ dari khimar, artinya apa-apa yang digunakan untuk menutupi, maksudnya disini adalah yang digunakan untuk menutupi kepala, yang manusia menyebutnya Al-Maqani’ (Tafsir Ibnu Katsir 10/218, cet. Muassah Qurthubah)


Lihat keterangan yang semakna di kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Al-Baghawy, Tafsir Al-Alusy, Fathul Qadir dll, ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31.
Dan kitab-kitab fiqh seperti Mawahibul Jalil (4/418, cet. Dar ‘Alamil Kutub), Al-Fawakih Ad-Dawany (1/334 cet. Darul Kutub Al-’Ilmiyyah), Mughny Al-Muhtaj (1/502, cet. Darul Ma’rifah) dll.
Demikian pula kitab-kitab lughah (bahasa) seperti Al-Mishbahul Munir (1/248, cet. Al-Mathba’ah Al-Amiriyyah), Az-Zahir fii ma’ani kalimatin nas (1/513, tahqiq Hatim Shalih Dhamin), Lisanul ‘Arab hal:1261, Mu’jamu Lughatil Fuqaha, dll.


Yang intinya bahwa pengertian khimar di dalam surat An-Nur ayat 31 adalah kain kerudung yang digunakan wanita untuk menutup kepala sehingga tertutup rambut, leher, anting-anting dan dada mereka. Sementara itu wajib bagi wanita muslimah mengenakan jilbab setelah mengenakan khimar ketika keluar rumah, sebagaimana tercantum dalam firman Allah ta’ala pada Surat Al-Ahzab ayat 59.

Perubahanku tentu membuat keluarga dan teman-teman di sekolahku kaget. Bagaimana mungkin seorang Icha penggemar anime dan Japaneseholic bisa sampai seperti itu? Ya, semua itu atas kehendak Allah. Hanya Allah yang bisa memberikan petunjuk dan hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya, hidayah datang tanpa diduga, ya itulah misteri yang hanya Allah saja yang tahu. Memakai jilbab yang langsung panjang mungkin membuat orang lain kaget, tapi tidak denganku karena sejak SMP setiap hari Jum’at aku selalu memakai kerudung (memang harus pakai seragam muslim) yang menutupi dada, walaupun hanya 1 hari setiap minggunya, aku berusaha untuk tidak melepasnya hingga pulang ke rumah. Karena aku berpikir bahwa aku pergi dengan memakai kerudung maka aku pun pulang harus dengan memakai kerudung. Dan Alhamdulillah, kerudungku pun makin panjang. Saat SMA jilbabku sudah panjang menutupi (afwan) pantat dan aku pun memakai khimar di dalam jilbabku.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)

Para ulama berbeda-beda dalam menafsirkan jilbab, ada yang mengatakan sama dengan khimar, ada yang mengatakan lebih besar, dll (lihat Lisanul Arab hal: 649). Dan yang benar –wallahu a’lamu- jilbab adalah pakaian setelah khimar, lebih besar dari khimar, menutup seluruh badan wanita.

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:
والجلباب هو: الرداء فوق الخمار
“Dan jilbab adalah pakaian di atas khimar.” (Tafsir Ibnu Katsir 11/252)

Berkata Al-Baghawy rahimahullahu:
وهو الملاءة التي تشتمل بها المرأة فوق الدرع والخمار.
“Jilbab nama lainnya adalah Al-Mula’ah dimana wanita menutupi dirinya dengannya, dipakai di atas Ad-Dir’ (gamis/baju panjang dalam/daster) dan Al-Khimar.” (Ma’alimut Tanzil 5/376, cet. Dar Ath-Thaibah)

Berkata Syeikhul Islam rahimahullahu:
و الجلابيب هي الملاحف التي تعم الرأس و البدن
“Dan jilbab nama lain dari milhafah, yang menutupi kepala dan badan.” (Syarhul ‘Umdah 2/270)

Berkata Abu Abdillah Al-Qurthuby rahimahullahu:
الجلابيب جمع جلباب، وهو ثوب أكبر من الخمار…والصحيح أنه الثوب الذي يستر جميع البدن. “الجلابيب
adalah jama’ جلباب, yaitu kain yang lebih besar dari khimar…dan yang benar bahwasanya jilbab adalah kain yang menutup seluruh badan.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran 17/230, tahqiq Abdullah At-Turky)

Berkata Syeikh Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullahu:
فقد قال غير واحد من أهل العلم إن معنى : يدنين عليهن من جلابيبهن : أنهن يسترن بها جميع وجوههن ، ولا يظهر منهن شيء إلا عين واحدة تبصر بها ، وممن قال به ابن مسعود ، وابن عباس ، وعبيدة السلماني وغيرهم
“Beberapa ulama telah mengatakan bahwa makna ” يدنين عليهن من جلابيبهن” bahwasanya para wanita tersebut menutup dengan jilbab tersebut seluruh wajah mereka, dan tidak nampak sesuatupun darinya kecuali satu mata yang digunakan untuk melihat, diantara yang mengatakan demikian Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan Ubaidah As-Salmany dan lain-lain.” (Adhwa’ul Bayan 4/288).

Datang dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah:
والمشروع أن يكون الخمار ملاصقا لرأسها، ثم تلتحف فوقه بملحفة وهي الجلباب؛ لقول الله سبحانه: سورة الأحزاب الآية 59 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ الآية.
“Yang disyari’atkan adalah hendaknya khimar menempel di kepalanya, kemudian menutup di atasnya dengan milhafah, yaitu jilbab, karena firman Allah ta’alaa dalam surat Al-Ahzab ayat 59:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/176)

Berkata Syeikh Al-Albany rahimahullahu:
فالحق الذي يقتضِيه العمل بما في آيتي النّور والأحزاب ؛ أنّ المرأة يجب عليها إذا خرجت من دارها أنْ تختمر وتلبس الجلباب على الخمار؛ لأنّه كما قلنا : أسْتر لها وأبعد عن أنْ يصف حجم رأسها وأكتافها , وهذا أمر يطلبه الشّارع … واعلم أنّ هذا الجمع بين الخمار والجلباب من المرأة إذا خرجت قد أخلّ به جماهير النّساء المسلمات ؛ فإنّ الواقع منهنّ إمّا الجلباب وحده على رؤوسهن أو الخمار , وقد يكون غير سابغ في بعضهن… أفما آن للنّساء الصّالحات حيثما كنّ أنْ ينْتبهن من غفلتهن ويتّقين الله في أنفسهن ويضعن الجلابيب على خُمرهن
“Maka yang benar, sebagai pengamalan dari dua ayat, An-Nur dan Al-Ahzab, adalah bahwasanya wanita apabila keluar dari rumahnya wajib atasnya mengenakan khimar dan jilbab di atas khimar, karena yang demikian lebih menutup dan lebih tidak terlihat bentuk kepala dan pundaknya, dan ini yang diinginkan Pembuat syari’at…dan ketahuilah bahwa menggabungkan antara khimar dengan jilbab bagi wanita apabila keluar rumah telah dilalaikan oleh mayoritas wanita muslimah, karena yang terjadi adalah mereka mengenakan jilbab saja atau khimar saja, itu saja kadang tidak menutup seluruhnya… apakah belum waktunya wanita-wanita shalihah dimanapun mereka berada supaya sadar dari kelalaian mereka dan bertaqwa kepada Allah dalam diri-diri mereka, dan mengenakan jilbab di atas khimar-khimar mereka?” (Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah hal: 85-86)

Berkata Syeikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu:
حجابها باللباس، وهو يتكون من: الجلباب والخمار، …فيكون تعريف الحجاب باللباس هو:ستر المرأة جميع بدنها، ومنه الوجه والكفان والقدمان، وستر زينتها المكتسبة بما يمنع الأجانب عنها رؤية شيء من ذلك، ويكون هذا الحجاب بـ الجلباب والخمار
“Hijab wanita dengan pakaian terdiri dari jilbab dan khimar, maka definisi hijab dengan pakaian adalah seorang wanita menutupi seluruh badannya termasuk wajah, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki, dan menutupi perhiasan yang dia usahakan dengan apa-apa yang mencegah laki-laki asing melihat sebagian dari perhiasan-perhiasan tersebut, dan hijab ini terdiri dari jilbab dan khimar.” (Hirasatul Fadhilah 29-30) Sebagian ulama mengatakan bahwa jilbab tidak harus satu potong kain, akan tetapi diperbolehkan 2 potong dengan syarat bisa menutupi badan sesuai dengan yang disyari’atkan (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/178).

Perubahanku sangat drastis dan banyaklah omongan-omongan orang lain perihal perubahanku. Dulu, aku adalah sosok orang yang supel, cuek, gampang bergaul dengan perempuan bahkan laki-laki. Seringkali aku dijadikan tempat curhat oleh teman-temanku, Aku berteman dengan siapa saja tanpa memilih-milih teman, aku pun dekat dengan akhwat-akhwat ROHIS SMA. Mereka pun tidak membeda-bedakanku meskipun saat itu aku belum berhijab. Dan saat aku berhijab pun mereka tetap ada di sampingku, merangkulku dengan indahnya ukhuwah Islamiyah yang membuatku tersadar bahwa aku punya banyak saudari-saudari yang mendukungku, bahkan ketika banyak teman-teman lain yang menjauhiku karena perubahanku yang drastis itu. Seperti apakah aku sehingga teman-temanku menjauhiku?? Karena sikapku yang menjaga jarak dengan ikhwan ajnabi dan tidak banyak bicara lagi (ada kalanya aku harus bicara dan ada kalanya aku harus diam).

Bahkan salah satu teman dekatku dulu (sebelum aku berhijab), Nina (bukan nama sebenarnya) juga memakai jilbab, tapi belum masuk kriteria jilbab karena pakaiannya yang ketat dan kerudungnya yang tidak sempurna menutupi auratnya dan menganut “aliran” pacaran (istilah yang aneh, hehe). Dia orangnya memang ramai, dan aku pun tipe orang yang cerewet dan ramai setelah kenal dekat, meskipun awal-awalnya banyak orang yang bilang kalau aku itu sangat pendiam. Saat aku sudah berjilbab, dia pun merasakan perubahanku. Aku yang dulu banyak bicara, sekarang lebih banyak diam, kenapa? Aku takut… Takut kalau lisanku tidak terjaga karena membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat. Sehingga suatu hari, saat pelajaran belum dimulai, dia berbicara padaku bahwa dia ingin berbicara berdua denganku dan mengajakku ke kantin (saat itu kantin masih tutup, jadi sepi). Dia menatapku, lalu berbicara: “Icha, jujur ya aku lebih suka icha yang tidak berjilbab tapi ceria, dibanding icha yang berjilbab tapi diem aja.” Deg! Kata-kata itu begitu singkat dan jelas, tapi sangat menusuk hatiku. Astaghfirullah… Disaat aku butuh teman-teman yang bisa membimbingku untuk jadi lebih baik lagi, mengapa teman dekatku justru berkata seperti itu? Jujur saja saat itu butir-butir air mata hampir jatuh dari mataku tapi kutahan. Aku tak ingat lagi apa yang kukatakan selanjutnya, yang kuingat hanya saat itu kami pun langsung masuk ke kelas tanpa membahas masalah itu lagi.
Allah berfirman,

لا خَيرَ فى كَثيرٍ مِن نَجوىٰهُم إِلّا مَن أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَو مَعروفٍ أَو إِصلٰحٍ بَينَ النّاسِ ۚ وَمَن يَفعَل ذٰلِكَ ابتِغاءَ مَرضاتِ اللَّهِ فَسَوفَ نُؤتيهِ أَجرًا عَظيمًا ﴿١١٤﴾
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia” (An-Nisa: 114)

Rasulullah shollallahu wa sallam bersabda :
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam” (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Begitu banyak dalil shahih yang menegaskan untuk berbicara hal yang bermanfaat atau diam, di antaranya:

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:«مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ». حَدِيْثٌ حَسَنٌ, رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَغَيْرُهُ هَكَذَا.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2318 dan yang lainnya)

Derajat Hadits:
Derajat hadits ini adalah hasan lighairihi (Syarh al-Arbain an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal: 80). Sebab meskipun hadits ini menurut ulama ahli ‘ilal (Antara lain Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan lain-lain) adalah mursal (Jami’ al-ulum wa al-Hikam, oleh Ibn Rajab, hal 207), akan tetapi ia memiliki syawahid yang cukup banyak dengan redaksi yang semisal, sehingga menguatkannya dan menjadikannya hasan lighairihi (Lihat takhrij hadits ini dalam Shahih Kitab al-Adzkar wa Dha’ifuhu, 1013/774, 1130/884, 1244/978. Dinukil dari Iqadzu al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al Ulum wa al-Hikam, oleh Syaikh Salim al-Hilaly, hal 172)

Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda;
“Janganlah kamu membicarakan semua apa yang kamu dengar. Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar” (HR. Muslim).

Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawany menerangkan, “Adab-adab kebaikan terhimpun dan bersumber dari 4 hadits: hadits “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya berkata baik atau diam”, hadits “Salah satu pertanda kebaikan Islam seseorang, jika ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya”, hadits “Janganlah engkau marah”, dan hadits “Seorang mu’min mencintai kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana ia mencintai kebaikan tersebut bagi dirinya sendiri” (Jami’ al-Ulum wa Al-Hikam, hal 208).

يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقولوا قَولًا سَديدًا ﴿٧٠﴾ يُصلِح لَكُم أَعمٰلَكُم وَيَغفِر لَكُم ذُنوبَكُم ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسولَهُ فَقَد فازَ فَوزًا عَظيمًا ﴿٧١﴾
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71]

يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنُوا اجتَنِبوا كَثيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعضَ الظَّنِّ إِثمٌ ۖ وَلا تَجَسَّسوا وَلا يَغتَب بَعضُكُم بَعضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُم أَن يَأكُلَ لَحمَ أَخيهِ مَيتًا فَكَرِهتُموهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوّابٌ رَحيمٌ ﴿١٢﴾
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]

Tidak hanya itu saja, teman laki-laki pun begitu (aku sih ga masalah, malah senang kalau mereka menjauhiku). Awalnya mereka sih biasa saja, masih menganggapku sama dengan aku yang dulu. Maka, saat mereka menyentuhku meskipun hanya sekedar menepuk pundakku dengan ringan, reaksiku langsung menunjukkan bahwa AKU TIDAK SUKA! (Reaksiku bermacam-macam, ada yang langsung menghindar dengan menepiskan tangannya dari pundakku ataupun gerak refleksku yang langsung menghindar sehingga tidak tersentuh). Salah seorang teman laki-laki sekelasku yang dikenal sebagai orang yang ramai, seru, kocak pernah bertanya padaku, “Cha, kok lo meuni ga mau disentuh sih?” Saat ditanya seperti itu, aku bingung karena aku tahu temanku itu masih sangat awam. Lalu, teman sebangku aku yang juga anggota ROHIS berkata dengan cueknya, “Ya iyalah, dia ga mau disentuh, ga kayak cewek lo mau aja lo pegang-pegang. Dia udah punya wudhu tau!” Aku tersenyum mendengar temanku berkata seperti itu (membelaku). Teman sekelasku itu hanya tertawa saja mendengar temanku berbicara seperti itu.

Bahkan saat ada murid pindahan ke kelasku, seorang laki-laki. Affan (bukan nama sebenarnya) adalah orang yang agak nakal dan ramai. Saat itu sudah kelas 3 SMA (tanggung sebenarnya ada murid pindahan di kelas 3, hanya saja memang dia ada ‘masalah’ setelah kami sekelas mengetahuinya dari wali kelas dan guru BK). Kelas 3 sudah mulai les di sekolah dimana setiap harinya kami pun disarankan untuk membawa bekal dan aku pun memang lebih senang membawa bekal. Saat istirahat les, Affan menghampiri aku dan teman-temanku yang sedang makan bekal. Tiba-tiba dia minta bekalku, ya aku kasih aja tanpa kuduga dia langsung merebut sendokku dan memakainya (meskipun tidak tersentuh), aku kaget dong melihatnya begitu. Lalu dia minta bekalku lagi, aku ga kasih (khawatir pakai sendokku lagi). Aku bilang kalau mau minta ke teman-teman lain aja, eh dia ga mau malah pengen yang punyaku. Lalu dia merebut lagi sendok di tanganku, aku ga terima dunk (maen rebut seenaknya aja), alhasil kami rebutan sendok. Beugh! Dia menjepit lenganku dengan tangannya dan memegang tanganku (kulit tanganku!) bahkan bisa dibilang menggenggam untuk merebut sendokku, meskipun aku sudah teriak-teriak ga mau dan kupukul-pukul tangannya, teman-temanku ga ada yang bantu karena kejadiannya memang cepat, terjadi begitu saja. Alhasil, di tempat itu, saat itu juga aku nangis! Ya, Untuk pertama kalinya di kelas 3, aku MENANGIS DI DEPAN UMUM. Tahukah kau apa yang kurasakan saat itu? Aku merasa DILECEHKAN! Aku selama ini berusaha menjaga untuk tidak berinteraksi dengan laki-laki apalagi bersentuhan (aku sangat protek tentang hal ini, biasanya gerak refleksku bagus tapi aku ‘kecolongan’, mungkin karena aku tidak duga dia akan senekat itu). Aku tahu, seharusnya aku tidak menangis. Tapi, aku merasa jika hal ini saja aku tidak merasakan apa-apa dan merasa ‘tidak ada apa-apa’, yang aku takutkan kemanakah izzah dan iffahku sebagai seorang Muslimah yang tidak merasakan apa-apa ketika disentuh? Apakah rela disentuh sedikit saja dengan laki-laki non mahrom? Tidak, AKU TIDAK RELA! SANGAT TIDAK RELA! Alhasil, istirahat hari itu menjadi gaduh dan teman-teman laki-laki sekelas berbisik-bisik kenapa aku bisa menangis dan bertanya pada Affan. “Kenapa tuh si Icha nangis?” Tanya mereka. Affan menjawab dengan nada polos dan wajah yang sangat kaget melihatku menangis, “Tangannya kesentuh. Gue ga sengaja, cuma kesentuh dikit aja eh dia nangis.” Teman laki-laki sekelas membelaku dan berkata, “Lo sih, ngapain lo sentuh-sentuh si Icha? Parah lo! Minta maaf lo ke si Icha.” Alhamdulillah teman-teman sekelasku bisa menerima perubahanku dan mau membelaku. Dan akhirnya Affan minta maaf padaku. “Cha, sorri ya gue ga sengaja. Gue ga tau, Cha. Maafin gue, Cha.” Dengan wajahnya yang memelas dan agak pucat menurutku (mungkin kaget melihat ‘reaksi’ku itu).

Pulang sekolah, aku langsung menceritakannya pada Ibuku. Ya, Ibuku adalah sahabat terbaikku, aku selalu cerita padanya tentang apa yang kurasa, kejadian apa saja yang terjadi padaku. Alhamdulillah, beliau berkata: “Kamu juga harus minta maaf sama dia, Cha. Karena kan dia juga ga tau. Insya Allah, klo dia Muslim, dia pasti ngerti kok.” Akhirnya keesokan harinya, pagi-pagi sebelum pelajaran dimulai. Aku memanggilnya keluar kelas untuk meminta maaf padanya. Aku katakan padanya: “Maaf ya, kemarin Cha nangis. Bukannya kenapa-kenapa, bukannya fanatik atau ekstrem tapi itu udah prinsipku. Cha harap kamu bisa ngerti itu dan juga jangan ngerasa gimana-mana. Kaya biasa aja.” Dan dia pun mengerti, Alhamdulillah. Aku berkata begitu hanya takutnya dia malah jadi antipati gara-gara ‘reaksi’ku kemarin. Tapi Alhamdulillah, dia bisa mengerti dan tidak pernah menggangguku lagi. Ya akhi, kau memang saudaraku tapi kau bukan mahromku. Aku tidak mau berinteraksi begitu dekat dengan non mahrom apalagi bersentuhan, meskipun hal itu tidak sengaja. Aku hanya takut, takut akan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Tidakkah engkau takut terkena ancaman sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa:

“Sungguh apabila kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan paku dari besi itu lebih baik baginya daripada harus menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir, 20/211)

لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Kepala salah seorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 20/210 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, lihat Ash-Shahihah no. 226)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata,
“Dalam hadits ini ada ancaman yang keras bagi lelaki yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Dan juga merupakan dalil haramnya berjabat tangan dengan para wanita, karena jabat tangan tanpa diragukan masuk dalam pengertian menyentuh. Sungguh kebanyakan kaum muslimin di zaman ini ditimpa musibah dengan kebiasaan berjabat tangan dengan wanita (dianggap sesuatu yang lazim, bukan suatu kemungkaran, -pent.). Di kalangan mereka ada sebagian ahlul ilmi, seandainya mereka mengingkari hal itu hanya di dalam hati saja, niscaya sebagian perkaranya akan menjadi ringan, namun ternyata mereka menganggap halal berjabat tangan tersebut dengan beragam jalan dan takwil. Telah sampai berita kepada kami ada seorang tokoh besar di Al-Azhar berjabat tangan dengan para wanita dan disaksikan oleh sebagian mereka. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita sampaikan pengaduan dengan asingnya ajaran Islam ini di tengah pemeluknya sendiri. Bahkan sebagian organisasi-organisasi Islam berpendapat bolehnya jabat tangan tersebut. Mereka berargumen dengan apa yang tidak pantas dijadikan dalil, dengan berpaling dari hadits ini4 dan hadits-hadits lain yang secara jelas menunjukkan tidak disyariatkan jabat tangan dengan kaum wanita non-mahram.” (Ash-Shahihah, 1/448-449)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata:
إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ، إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita. Hanyalah ucapanku kepada seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita.” (HR. Malik 2/982/2, An-Nasa`i dalam ‘Isyratun Nisa` dari As-Sunan Al-Kubra 2/93/2, At-Tirmidzi, dll. Lihat Ash-Shahihah no. 529)

Al-Imam Asy-Syinqinthi rahimahullahu berkata, “Tidaklah diragukan bahwa sentuhan tubuh dengan tubuh lebih kuat dalam membangkitkan hasrat laki-laki terhadap wanita, dan merupakan pendorong yang paling kuat kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata.7 Dan setiap orang yang adil/mau berlaku jujur akan mengetahui kebenaran hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 6/603)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu berkata, “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, baik si wanita masih muda ataupun sudah tua. Dan sama saja baik yang menjabatnya itu anak muda atau kakek tua, karena adanya bahaya fitnah (ujian/cobaan) yang bisa didapatkan oleh masing-masingnya.” Asy-Syaikh juga berkata, “Tidak ada bedanya baik jabat tangan itu dilakukan dengan ataupun tanpa penghalang, karena keumuman dalil yang ada. Juga dalam rangka menutup celah-celah yang mengantarkan kepada fitnah (ujian/cobaan).” Beliau juga mengatakan, “Secara umum, tergeraknya syahwat disebabkan sentuhan kulit dengan kulit lebih kuat daripada sekedar melihat dengan pandangan mata/tidak menyentuh. Bila seorang lelaki tidak dibolehkan memandang telapak tangan wanita yang bukan mahramnya, lalu bagaimana dibolehkan ia menggenggam telapak tangan tersebut?” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/541-543)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengatakan, “Segala sesuatu yang menyebabkan fitnah (godaan) di antara laki-laki dan perempuan hukumnya haram, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita.”

Teman-teman perempuanku yang dulu dekat denganku, satu per satu menjauhiku (secara tidak langsung) interaksi yang dulu dekat kini jarang, hanya teman-teman ROHIS yang tetap dekat denganku bahkan kami seringkali menghabiskan waktu bersama-sama meskipun kami beda kelas. Salah seorang teman perempuan di kelasku juga berkata padaku di telepon perihal perubahanku. “Memang perubahanku drastis banget, ya?” tanyaku. “Drastis banget cha, dari kata-kata lo yang Islami banget, lo yang ga mau lagi dengerin curhatan temen-temen cowok lo, padahal lo kan bisa dengerin curhatan mereka lewat telpon atau SMS, lo juga reaksinya gimana gitu sama si Affan, padahal biasa aja lagi. Gue aja biasa aja.” Aku hanya tersenyum saja mendengarnya. Menurutku, ini semua hanyalah masalah waktu. Sebagian teman-temanku masih belum bisa menerima. Yah, wajar sih mereka 'kaget'.

Aku bingung saat pelajaran olahraga karena kan bajunya lengan pendek, dan celananya panjang. Kata guruku, baju olahraga memang tidak ada stok baru karena tidak tersedia lebih, hanya sesuai dengan jumlah murid saja, baru diproduksi lagi kalau sudah masuk tahun ajaran baru. Aku pikir sayang juga kalau beli lagi, selain sayang di uang, juga sayang dibaju karena tidak akan terpakai (mubazir). Aku hanya bisa pasrah aja, lagian kan bisa diakalin dengan memakai kaos lengan panjang yang ada di rumah saja, guru olahragaku juga pasti izinin kok kalau dijelaskan baik-baik, Insya Allah. Temanku Nina membantuku dan menyarankanku untuk bertukar pakaian dengan punya teman perempuan sekelas. Dan memang ada teman sekelasku yang memakai baju lengan panjang meskipun dia belum berjilbab. Maka, setelah diskusi akhirnya dia pun mau bertukar pakaian denganku. Alhamdulillah 'alaa kulli hal... Allah telah memudahkanku... Aku jadi teringat firman Allah Azza Wa Jalla:

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجعَل لَهُ مَخرَجًا (2) وَيَرزُقهُ مِن حَيثُ لا يَحتَسِبُ
".......... Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar (2). Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (3)."
(QS. Ath-Thalaq: 2-3)

Dari hal inilah aku belajar bahwa aku menyeleksi teman-temanku, siapakah di antara mereka yang benar-benar tulus berteman denganku karena Allah ta'ala ataukah hanya sebatas teman saat senang saja? Karena sejatinya, teman yang sebenarnya teman akan menerima perubahan kita, apalagi jika itu adalah perubahan yang menuju arah lebih baik, menuju ridha Allah, menuju syari'at Allah. Dan aku telah menemukan teman sejati dimana dia adalah orang yang bisa menyemangatiku, mengingatkanku akan kebenaran dan kesabaran, selalu menegurku dengan lembut jika aku salah.... Aku teringat akan perkataaan
Abul Qa’qa’ yang mengatakan:
و من هنا ينبغي للمرء أن يبحث له عن زميل صالح, و خل جاد ناصح, بحيث يكونان متلازمين في أغلب الأوقات, و يحث كل منهما صاحبه على الطلب و التحصيل, و يشد كل منهما من أزر الآخر و يسد كل منهما الآخر إن أخطأ, و يعينه و يحفزه إن أصاب و وفق, و يغيب كل منهما للآخر ما حفظه من العلم, و يقرآن سوياً, و يراجعان سويا, و يبحثان المسائل, و يحققا سويا
“Seseorang harus mencari kawan yang shalih, rajin dan suka menasehati, agar (ia) selalu bisa bersamanya pada sebagian besar waktunya, saling memotivasi dalam belajar dan saling menguatkan semangat sesamanya, mengingatkannya bila ia salah, dan mendukungnya bila ia benar dan mengevaluasi apa yang telah ia hafal, baca, diskusikan, dan kaji tentang sebuah permasalahan dengan selalu bersama-sama." [كيف تتحمس لطلب العلم الشرعي/Kaifa Tatahammas Li Thalabil ‘Ilmi Asy-Syar’i/. محمد بن صالح بن إسحاق الصيعري / Muhammad ibn Shalih ibn Ishaq Ash-Shi’ri /. 1419 H. فهرسة مكتبة الملك فهد الوطنية أثناء النشر /Fahrasah Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyyah Ats-naa`a An-Nasyr.]


العلماء هم ضالتي في كل بلدة وهم بغيتي ووجدت صلاح قلبي في مجالسة العلماء
Orang-orang yang berilmu agama adalah orang yang kucari di setiap tempat. Mereka adalah tujuan yang selalu kucari. Dan aku menemukan keshalihan hatiku di dalam bergaul dengan mereka.
(حلية الأولياء وطبقات الأصفياء , IV/85 )


Baca artikel tentang sahabat >>di sini<<

Wallahu a'lam
The older stories 'bout me...
Me at Senior High School
Words by Ummu Zahratin Nisa Lathifah

0 comments:

Abul Qa’qa’ mengatakan

و من هنا ينبغي للمرء أن يبحث له عن زميل صالح, و خل جاد ناصح, بحيث يكونان متلازمين في أغلب الأوقات, و يحث كل منهما صاحبه على الطلب و التحصيل, و يشد كل منهما من أزر الآخر و يسد كل منهما الآخر إن أخطأ, و يعينه و يحفزه إن أصاب و وفق, و يغيب كل منهما للآخر ما حفظه من العلم, و يقرآن سوياً, و يراجعان سويا, و يبحثان المسائل, و يحققا سويا

“Seseorang harus mencari kawan yang shalih, rajin dan suka menasehati, agar (ia) selalu bisa bersamanya pada sebagian besar waktunya, saling memotivasi dalam belajar dan saling menguatkan semangat sesamanya, mengingatkannya bila ia salah, dan mendukungnya bila ia benar dan mengevaluasi apa yang telah ia hafal, baca, diskusikan, dan kaji tentang sebuah permasalahan dengan selalu bersama-sama."

[كيف تتحمس لطلب العلم الشرعي/Kaifa Tatahammas Li Thalabil ‘Ilmi Asy-Syar’i/. محمد بن صالح بن إسحاق الصيعري / Muhammad ibn Shalih ibn Ishaq Ash-Shi’ri /. 1419 H. فهرسة مكتبة الملك فهد الوطنية أثناء النشر /Fahrasah Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyyah Ats-naa`a An-Nasyr.]