Di antara perkataan a-immatussalaf kepada anaknya adalah:

يا بني لأن تتعلم باباً من الأدب أحب إليَّ من أن تتعلم سبعين باباً من أبواب الفقه

“Wahai anakku satu bab kamu pelajari tentang adab maka itu jauh lebih aku cintai daripada kamu pelajari tujuh puluh bab dari fiqih (dari ilmu).”

[Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah bahwa mereka (as-salafush shalih) melakukan rihlah (perjalanan) untuk mempelajari adab selama dua puluh tahun lamanya, kemudian mereka rihlah mencari ilmu selama sepuluh tahun.]

2011-08-16

^MENJADI WANITA DAMBAAN ISLAM^ (bagian 2)


إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له من يضلل فلا هاديله، وأشهد أن لا إلـه إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.

Segala puji bagi Allah, kita memujinya, memohon pertolongan dan ampunan kepadaNya kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejelekan amalan-amalan kita, barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah hamba dan utusan Allah.


يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله حق تقاته، ولاتموتن إلاوأنتم مسلمون۝

“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (QS. Ali ‘Imran : 102)


يأيهاالناس اتقواربكم الذى خلقكم من نفس وحدة وخلق منهازوجها وبث منهمارجالاكثيرا ونساءۚ واتقوا الله الذى تساءلون به والأرحامۚ إن الله كان عليكم رقيبا۝

“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripadanya keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) NamaNya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silahturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisa’ :1)


يأيهاالذين ءامنوا اتقوا الله وقولوقولاسديدا۝ يصلح لكم أعملكم ويغفرلكم ذنوبكمۗ ومن يطع الله ورسوله، فقدفازفوزاعظيما۝

“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu sosa-dosamu dan barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzaab : 70-71)


Amma ba’du :

فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشرالأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل

ضلالة فيالنار.

“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu ditempatnya di Neraka.”


*Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah, yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Sahabatnya. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Sahabat Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097, 2118), an-Nasa-I (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214, VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini shahih.


Saudariku, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian melewati taman-taman surga maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya, “Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab, “Halaqoh-halaqoh dzikir.” (HR. at-Tirmidzi dan lain-lain)

Yang dimaksud dengan halaqoh dzikir yang merupakan taman-taman surga, yaitu sekelompok orang yang berdzikr di suatu tempat dengan dzikir dan tata cara yang diajarkan Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam atau berkumpul untuk membaca dan mempelajari al-Quran atau berkumpul untuk mempelajari ilmu agama.

Majelis zhikir (ilmu) adalah riyadhul min riyadhul jannah (taman dari taman-taman surga), atpi bukan majelis zhikir yang penuh dengan kebid'ahan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 'Tidaklah duduk suatu kaum yang berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat mengelilingi mereka serta ketenangan turun atas mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka di tengah-tengah malaikat yang ada disisi-NYA." (HR:Muslim)

Said bin Zubair mengatakan: "Semua yang melakukan ketaatan kepada Allah, karena Allah, maka dia orang yang berdzikir kepada Allah." (Al Adzkar 7)

Abu Hazzan ‘Atha` pernah ditanya: ”Apakah Majelis Dzikir itu?” Beliau menjawab:
مَجْلِسُ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَكَيْفَ تُصَلِّي وَكَيْفَ تَصُوْمُ وَكَيْفَ تَنْكِحُ وَكَيْفَ تَطْلُقُ وَتَبِيْعُ وَتَشْتَرِي
“Yaitu majelis tentang halal dan haram. Majelis yang mengajari bagaimana kamu shalat, puasa, menikah, talak, dan bagaimana kamu berjual beli.” (Al Hilyah 3/313)

Dari penukilan perkataan ‘Ulama salaf ini jelas bagi kita bahwa yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang di dalamnya disebutkan padanya “majalis adz-dzikr” atau “hilaqudz dzikr” adalah majelis ilmu yang di dalamnya dipelajari Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, jauh dari berbagai macam campuran bid’ah-bid’ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

Diantara yang menguatkan hal ini adalah beberapa nash Al-Qur’an dan sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah kepada ahli dzikir jika kalian tidak mengetahuinya.” (QS An-Nahl: 43)

Para ahli tafsir menafsirkan “ahli dzikir” dengan makna “Para ‘Ulama”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/571-572)

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

مَنْ اَغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ اْلأُولَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الثَّانِيَةَ فَكَأَنَمَا قَرَّبَ بَقْرَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْثَّالِثَةَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً, فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الْذِّكْرَ

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at kemudian berangkat di waktu pertama, maka seakan-akan dia berkurban seekor onta, dan barangsiapa yang berangkat di saat kedua maka seakan-akan dia berkurban seekor kerbau, dan barangsiapa yang berangkat di waktu ketiga maka seakan- akan dia berkurban seekor domba bertanduk, dan barangsiapa yang berangkat pada waktu keempat maka seakan-akan dia berkurban seekor ayam, dan barangsiapa yang datang pada waktu kelima maka seakan-akan dia berkurban seekor telor. Maka apabila imam telah keluar maka hadirlah para malaikat mendengarkan dzikir.”Yang dimaksudkan dengan dzikir di dalam hadits ini adalah khutbah dan nasehat. (Lihat kitab Al-I’lam bifawaid Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin: 4/173)

Ini semua menunjukkan bahwa makna “majalis adz dzikr” lebih lebih luas dari makna dzikir secara lisan, namun mencakup berbagai macam jenis amalan ketaatan seperti menuntut ilmu, belajar dan mengajar, memberi nasehat, yang jauh dari berbagai bentuk bid’ah dan kesesatan. Sedangkan “majalis adz dzikir” yang dinisbahkan kepada model dan cara berdzikirnya Arifin Ilham, lebih pantas dinamakan sebagai “majelis makr (yang menipu daya kaum muslimin)” dan bukan majelis dzikr.

Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Semua bid'ah sesat walaupun seluruh manusia menganggapnya baik." [Diriwayatkan oleh al Laalikaai (nomor 126), Ibnu Baththah (205), al Baihaqi dalam kitab al Madkhal Ilas Sunan (191), Ibnu Nashr dalam kitab
as Sunnah (nomor 70).]

Ayo, saudariku... marilah kita hadiri majelis-majelis dzikir, taman-taman surga... Ajaklah keluargamu, saudaramu, juga teman-temanmu. Bukankah sangat menyenangkan tamasya ke taman surga dengan orang-orang yang kita kasihi dan sayangi? ^ ^ Luangkanlah bahkan khususkanlah waktumu untuk hadir ke majelis dzikir. Berapa lama waktu yang kau habiskan hanya untuk meraih dunia sedangkan untuk meraih akhirat engkau enggan. Janganlah terperdaya dunia, yang menyebabkan engkau malas untuk menuntut ilmu syar'i, membuatmu ragu menghadiri majelis dzikir. Ingatlah saudariku,

"Pemahaman yang benar tentang agama Islam hanya bersumber dari Allah semata, oleh karena itu hendaknya seorang muslim disamping giat menuntut ilmu, selalu berdo'a dan meminta pertolongan kepada Allah ta'ala agar diberikan pemahaman yang benar dalam agama." [Lihat Bahjatun Naazhiriin (2/463).]

Bersemangatlah saudariku,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ

(bersemangatlah kamu terhadap apa yg bermanfaat bagimu dan jangan malas)

*lihat teks lengkapnya dalam shahih Muslim 4812
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ


Bagaimanakah membalas kebaikan ALLAH Azza Wa Jalla yang telah dikaruniakan kepada kita? Yaitu, dengan ketakwaan dan ketaatan kita kepada ALLAH Azza Wa Jalla dengan menjadi wanita dambaan Islam. Saudariku, tahukah engkau wanita seperti apakah yang didambakan oleh Dienul Islam? Berikut akan aku sampaikan faedah ta'lim dari Ustadzuna Abu Usamah, Lc yang disampaikan beliau beberapa waktu lalu.

Wanita yang didambakan Islam:
1. Wanita yang senantiasa bertakwa kepada ALLAH, baik dalam keadaan sendirian maupun dengan orang lain.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya...” (QS. Al-Ahzaab: 33)

"Sesungguhnya wanita itu adalah aurat, maka apabila keluar, setan akan menghiasinya." [Dikeluarkan oleh Al Bazzar dan At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam kitab Irwaul Ghalil jilid 1.]

2. Wanita yang bertakwa kepada ALLAH dalam shalatnya.

3. Wanita yang bertakwa kepada ALLAH dengan jilbab syar'i yang dicintai ALLAH dan Rasul-Nya.
Saudariku, hijab dapat dikatakan sebuah jilbab jika memiliki syarat. Adapun syaratnya, maka akan aku nukilkan syarat jilbab yang teslah dijelaskan para ulama. Dalam kitab Jilbaab Al-Mar'atu Al-Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani atau dalam edisi terjemahan Indonesia yang berjudul Jilbab Wanita Muslimah yang diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan, Solo yaitu sebagai berikut:

=> Menutup seluruh badan
ALLAH Azza Wa Jalla berfirman:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [٢٤:٣١]
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS. An-Nuur: 31)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata tentang QS. An-Nuur: 31 dalam tafsirnya (Lihat Kitab Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir yang ditahqiq oleh Dr. 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh dan diterbitkan oleh Mu'assasah Daar al-Hilaal Kairo, Cet. I, Th. 1414H-1994M atau dalam edisi terjemahan Indonesia dengan judul Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6 yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'i, Jakarta hlm. 288-294)

Ini merupakan perintah ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala kepada wanita-wanita Mukminah karena kecemburuan-Nya terhadap suami-suami mereka, para hamba-Nya yang beriman, dan untuk membedakan mereka dengan sifat wanita Jahiliyyah dan wanita musyrikah. Sebab turunnya ayat ini seperti yang disebutkan oleh Muqatil bin Hayyan, bahwa ia berkata: "Telah sampai kepada kami riwayat dari Jabir bin 'Abdillah al-Anshari, ia menceritakan bahwa Asma' bin Martsad berada di tempatnya di kampung Bani Haritsah. Di situ para wanita masuk menemuinya tanpa mengenakan kain sehingga tampaklah gelang pada kaki-kaki mereka dan tampak juga dada dan jalinan rambut mereka. Asma' berkata: "Sungguh jelek kebiasaan seperti ini." Lalu turunlah ayat: وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya”, yakni dari perkara yang haram mereka lihat, di antaranya melihat kepada laki-laki selain suami mereka.

Oleh sebab itu, sebagian besar ulama berpendapat, wanita tidak boleh melihat kepada laki-laki yang bukan mahram, baik disertai dengan syahwat atau tanpa syahwat. Sebagian besar dari ulama berdalil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dari jalur az-Zuhri, dari Nabhan, maula Ummu Salamah, ia bercerita, Ummu Salamah bercerita kepadanya bahwa pada suatu hari ia dan Maimunah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata: “Ketika kami berada di sisi beliau, tiba-tiba datanglah Ibnu Ummi Maktum dan masuk menemui beliau. Peristiwa itu terjadi setelah turunnya perintah berhijab. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berkata: “Berhijablah darinya.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, bukankah ia seorang buta yang tidak dapat melihat kami dan tidak mengenali kami?” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Apakah kalian berdua juga buta? Bukankah kalian berdua melihatnya?” [Dha'if, didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Jilbaabul Mar'atil Muslimaah.] At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”

Sebagian ulama lainnya berpendapat: “Kaum wanita boleh melihat laki-laki bukan mahram asalkan tanpa disertai syahwat seperti yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih, bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menyaksikan orang-orang Habasyah yang sedang bermain tombak pada hari 'Ied di dalam masjid, sementara 'Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu 'anha juga menyaksikan mereka dari belakang beliau, beliau menutupinya dari mereka hingga 'Aisyah jemu dan pulang.”

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ "Dan memelihara kemaluan mereka,” Sa'id bin Jubair berkata: “Yakni dari perbuatan keji (zina).”

Qatadah dan Sufyan mengatakan: “Dari perkara yang tidak halal bagi mereka.” Muqatil mengatakan: “Dari perbuatan zina.” Abul 'Aliyah mengatakan: “Seluruh ayat dalam al-Qur'an yang disebutkan di dalamnya perintah menjaga kemaluan, maka maksudnya adalah menjaganya dari perbuatan zina, kecuali ayat ini. Maksudnya adalah menjaga agar tidak terlihat oleh seorang pun.”

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka,” yakni janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kepada laki-laki bukan mahram, kecuali perhiasan yang tidak mungkin disembunyikan.

'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Contohnya kerudung, baju luar yaitu pakaian yang biasa dikenakan oleh wanita Arab, yakni baju kurung yang menutupi seluruh tubuhnya. Adapun yang tampak di bagian bawah baju tersebut, maka tiada dosa atas mereka karena hal itu tidak mungkin ditutupi. Sama halnya dengan perhiasan wanita yang tampak berupa kain sarung yang tidak mungkin ditutupi.”

Para ulama lain yang berkata seperti itu di antaranya al-Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Abul Jauza', Ibrahim an-Nakha'i, dan lain-lain. Al-A'masy meriwayatkan dari Sa'id bin Jubair, dari 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu berkaitan dengan firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) nampak dari mereka,” ia berkata: “Yakni wajah, kedua telapak tangan, dan cincinnya.”

Diriwayatkan seperti itu juga dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhu, 'Atha', 'Ikrimah, Sa'id bin Jubair, Abusy Sya'tsaa', adh-Dhahhak, Ibrahim an-Nakha'i, dan selain mereka. Kemungkinan itu merupakan tafsir dari perhiasan yang dilarang untuk ditampakkan seperti yang dikatakan oleh Abu Ishaq as-Sabi'i, dari Abul Ahwash, dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu tentang firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka,” beliau berkata: “Perhiasan seperti anting-anting, gelang tangan, gelang kaki, dan kalung.”

Dalam riwayat lain, masih dari beliau melalui sanad ini juga: “Perhiasan ada dua macam, perhiasan yang hanya boleh dilihat oleh suami, yaitu cincin dan kalung. Dan perhiasan yang dapat dilihat oleh orang lain, yaitu pakaian luar.”

Az-Zuhri berkata: “Kaum wanita hendaklah tidak menampakkan perhiasannya kepada orang-orang yang ALLAH sebutkan dalam ayat di atas yang tidak halal baginya, kecuali kalung, kerudung, dan anting-anting tanpa menyingkap pakaiannya. Adapun terhadap orang lain, ia tidak boleh menampakkannya, kecuali cincin.” Imam Malik meriwayatkan dari az-Zuhri berkaitan dengan firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا "Kecuali yang (biasa) nampak dari mereka,” yakni cincin dan gelang kaki.

Dan kemungkinan Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu dan para ulama yang mengikuti pendapatnya menafsirkan firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا "Kecuali yang (biasa) nampak dari mereka,” dengan wajah dan dua telapak tangan. Itulah tafsir yang populer di kalangan jumhur ulama dan didukung pula oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, dari Khalid bin Duraik, dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwasanya Asma' binti Abi Bakar datang menemui Rasulullah shallalahu 'alaihi wasallam, saat itu ia mengenakan pakaian tipis. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memalingkan wajah darinya dan berkata:

(( يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ ))
“Wahai Asma`, sesungguhnya seorang wanita jika telah haidh (mencapai usia baligh), maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini.” (Beliau mengisyaratkan kepada wajah dan kedua telapak tangannya.) [Akan tetapi, Abu Dawud dan Abu Hatim ar-Razi mengatakan: “Hadits ini mursal.” Khalid bin Duraik belum pernah mendengar dari (berjumpa dengan) 'Aisyah radhiyallahu 'anha, wallahu a'lam.]

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka,” yakni, hendaklah kerudung dibuat lebar hingga menutupi dadanya, gunanya untuk menutupi bagian tubuh di bawahnya seperti dada dan tulang dada serta agar menyelisihi model wanita Jahiliyyah. Al-Khumur adalah bentuk jamak dari kata Al-Khimar, yaitu kain yang digunakan untuk menutupi, yakni menutupi kepala, itulah yang oleh orang banyak disebut kerudung. Berkaitan dengan firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلْيَضْرِبْنَ “Dan hendaklah mereka menutupkan,” Sa'id bin Jubair berkata: “Yakni mengikatnya.”

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ "Kain kudung ke dada mereka,” yakni ke leher dan dada hingga tidak terlihat sedikit pun.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: “Semoga ALLAH merahmati wanita-wanita Muhajirah generasi awal, ketika turun ayat: وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka,” mereka merobek kain-kain dan berkerudung dengannya.”

Ibnu Abi Hatim dari Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata: “Ketika kami berada di sisi 'Aisyah radhiyallahu 'anha dan berkata: 'Kami menyebut wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka.' 'Aisyah berkata: 'Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy memiliki keutamaan. Demi ALLAH, sungguh aku belum melihat wanita yang lebih utama daripada wanita Anshar, yang paling membenarkan Kitabullah dan paling kuat keimanannya kepada wahyu yang diturunkan. Sungguh, ketika turun firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka,” suami-suami mereka pulang menemui mereka dan membacakan ayat yang diturunkan ALLAH ini kepada mereka. Para suami membacakannya kepada isterinya, puterinya, saudara perempuannya dan kepada seluruh karib kerabatnya. Segera saja setiap wanita bangkit dan mengoyak kain-kain mereka lalu menutup tubuh mereka dengannya sebagai pembenaran terhadap Kitabullah dan keimanan mereka kepada wahyu yang diturunkan ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala dalam kitab-Nya. Mereka pun berada di belakang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan mengenakan kerudung penutup kepala seolah-olah burung-burung gagak hinggap di atas kepala mereka.” [Abu Dawud meriwayatkan dari beberapa jalur, dari Shafiyyah binti Syaibah radhiyallahu 'anha.]

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ "Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,"
Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ ”Atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka,” mereka semua adalah mahram bagi seorang wanita, ia boleh menampakkan perhiasannya kepada mereka akan tetapi tanpa bersolek.

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: أَوْ نِسَائِهِنَّ “Atau wanita-wanita Islam,” ia boleh menampakkan perhiasan kepada wanita-wanita Muslimah, bukan kepada wanita-wanita ahli dzimmah (orang kafir yang tinggal di suatu negara dan taat kepada peraturan pemerintah di negara dengan membayar pajak, taat pemerintah, bayar visa, dll). Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Janganlah seorang wanita melihat wanita lainnya kemudian ia menceritakannya kepada suaminya seolah-olah suaminya melihat wanita itu.” [Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih mereka berdua, dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu. Berkaitan dengan firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala أَوْ نِسَائِهِنَّ “Atau wanita-wanita Islam,” Mujahid berkata: “Yakni wanita-wanita Muslimah, bukan wanita-wanita musyrikah. Seorang wanita Muslimah tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada wanita musyrikah, wallahu a'lam.]

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ “Atau budak-budak yang mereka miliki,” sebagian besar ulama mengatakan: “Ia boleh menampakkan perhiasan di hadapan budak-budak wanita maupun pria yang dimilikinya.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, ia menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian (kaum wanita) memiliki budak dalam status mukaatab dan ia (budak itu) memiliki harta untuk menebus dirinya, maka hendaklah ia berhijab darinya.” [Dha'if, didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani di kitab Dha'iiful Jaami' (650).] Abu Dawud meriwayatkannya juga dari Musaddad, dari Sufyan.

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ “Atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita),” yakni seperti pelayan yang tidak se-kufu', sudah pikun atau lemah akal serta tidak ada lagi keinginan dan gairah terhadap wanita. 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu berkata: “Yaitu laki-laki yang sudah pikun dan tidak mempunyai nafsu syahwat lagi.” Mujahid berkata: “Yakni, laki-laki yang idiot.” Ikrimah berkata: “Yakni, laki-laki banci yang tidak berfungsi zakarnya.” Demikian pendapat sejumlah ulama salaf.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk menemuinya, di situ ada saudara laki-lakinya bernama 'Abdullah bin Abi Umayyah dan seorang laki-laki banci. Laki-laki banci itu berkata: “Hai 'Abdullah, ALLAH tidak akan memberi kemenangan bagi kalian besok di Tha-if, hendaklah engkau tidak melewatkan puteri Ghailan karena ia datang dengan empat lipatan dan pergi dengan delapan lipatan.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendengar perkataannya itu, lalu beliau berkata kepada Ummu Salamah radhiyallahu 'anha: “Janganlah orang seperti ini masuk menemuimu.” [Hadits ini diriwayatkan dalam kitab ash-Shahihain.]

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita,” karena masih kecil, mereka belum mengerti tentang seluk beluk wanita, aurat wanita, tutur kata wanita yang lemah lembut dan gaya jalan serta gerak-gerik wanita yang lemah gemulai. Jika anak tersebut masih kecil dan belum paham tentang wanita, maka ia boleh masuk menemui kaum wanita. Adapun bila anak itu telah mencapai usia baligh atau hampir mencapai usia baligh, telah mengetahui tentang wanita dan dapat membedakan antara wanita cantik dan wanita tidak cantik, maka mereka tidak boleh masuk menemui kaum wanita.

Diriwayatkan dalam kitab ash-Shahihain, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id Telah menceritakan kepada kami Laits dari Yazid bin Abu Habib dari Abul Khair dari Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian masuk ke dalam tempat kaum wanita." Lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata, "Wahai Rasulullah, bagamana pendapat Anda mengenai ipar?" beliau menjawab: "Ipar adalah maut." [HR. Bukhari (no.4831), dishahihkan oleh para ulama, via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عُمَرَ وَجَابِرٍ وَعَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَإِنَّمَا مَعْنَى كَرَاهِيَةِ الدُّخُولِ عَلَى النِّسَاءِ عَلَى نَحْوِ مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ وَمَعْنَى قَوْلِهِ الْحَمْوُ يُقَالُ هُوَ أَخُو الزَّوْجِ كَأَنَّهُ كَرِهَ لَهُ أَنْ يَخْلُوَ بِهَا
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Laits dari Yazid bin Abu Habib dari Abu Al Khair dari 'Uqbah bin 'Amir bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian menemui para wanita." Ada seorang Anshar bertanya; "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda dengan saudara ipar?" Beliau menjawab: "Saudara ipar adalah kematian." Abu Isa berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari Umar, Jabir dan 'Amr bin Al Ash." Dia menambahkan; "Hadits 'Uqbah bin 'Amir merupakan hadits hasan sahih. Maksud dibencinya menemui para wanita sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali ketiganya adalah setan." Makna dari ipar, yaitu saudara suami, beliau membencinya berduaan dengan isteri. [HR. At-Tirmidzi (no.1091), dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, via software Lidwa' Ensiklopedia hadits.]

Firman ALLAH Ta'ala: وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ “Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka.” Pada masa Jahiliyyah, kaum wanita berjalan di jalanan dengan mengenakan gelang kaki yang tidak mengeluarkan suara. Lalu ia sengaja menghentakkan kakiknya suapaya kaum lelaki mendengar dentingannya. Lalu ALLAH melarang wanita Mukminah melakukan hal semacam itu. Demikian pula jika ia memakai perhiasan yang tersembunyi lalu digerakkan untuk menampakkannya, maka termasuk dalam larangan ini, berdasarkan firman ALLAH Ta'ala: وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ “Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”

Termasuk di dalamnya larangan memakai parfum dan wewangian ketika keluar dari rumahnya sehingga kaum pria mencium aromanya. Abu 'Isa at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Setiap mata berzina, jika wanita keluar dengan memakai parfum lalu lewat di majelis, maka ia adalah begini dan begini.” Yakni, ia adalah penzina.

أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ يَعْنِي الْحَفَرِيَّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طِيبُ الرِّجَالِ مَا ظَهَرَ رِيحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ وَطِيبُ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيحُهُ
Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sulaiman ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Dawud -yaitu Al Hafari- dari Sufyan dari Al Jurairi dari Abu Nadlrah dari seorang laki-laki dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Parfum laki-laki itu baunya nampak sementara warnanya tidak, dan parfum wanita itu warnanya nampak sementara baunya tidak." [HR. An-Nasa'i dalam Sunan-nya (no.5028), dishahihkan oleh Syaikh Albani, via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي فَرْوَةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلَا تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Ishaq bin Ibrahim, Yahya berkata, telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Abi Farwah dari Yazid bin Khushaifah dari Busr bin Sa'id dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Siapa pun wanita yang memakai parfum, maka janganlah dia hadir bersama kami dalam shalat Isya', shalat fardhu yang akhir'." [HR. Muslim (no.675) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

Hadits senada diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, hadits ini hasan shahih. Abu Dawud dan an-Nasa'i meriwayatkannya dari hadits Tsabit bin 'Umarah. Termasuk di dalamnya, kaum wanita dilarang berjalan di tengah jalan karena itu termasuk tabarruuj (menonjolkan diri). Abu Dawud meriwayatkan dari Hamzah bin Abi Usaid al-Anshari, dari ayahnya, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (saat beliau berada di luar masjid dan melihat wanita dan pria berbaur di jalan): “Menyingkirlah (kaum wanita), kalian tidak berhak berjalan di bagian tengah jalan. Hendaklah kalian berjalan di bagian pinggir jalan.” Ketika itu kaum wanita mengambil bagian tepi jalan sampai merapat ke tembok sehingga baju mereka tergesek ke tembok karena terlalu rapat.

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Lakukanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu berupa sifat-sifat yang indah dan akhlak-akhlak yang mulia. Tinggalkanlah kebiasaan kaum Jahiliyyah yang memiliki akhlak dan sifat yang tercela karena kemenangan hanya dapat diraih dengan mengerjakan apa yang telah diperintahkan ALLAH dan Rasul-Nya. Wallahul musta'an.

Berkata Ath-Thabary rahimahullahu:
وليلقين خُمُرهنّ …على جيوبهنّ، ليسترن بذلك شعورهنّ وأعناقهن وقُرْطَهُنَّ
“Hendaknya mereka melemparkan khimar-khimar mereka di atas celah pakaian mereka supaya mereka bisa menutupi rambut, leher , dan anting-anting mereka.” (Jami’ul Bayan 17/262, tahqiq Abdullah At-Turky)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:
يعني: المقانع يعمل لها صَنفات ضاربات على صدور النساء، لتواري ما تحتها من صدرها وترائبها؛ ليخالفن شعارَ نساء أهل الجاهلية، فإنهن لم يكن يفعلن ذلك، بل كانت المرأة تمر بين الرجال مسفحة بصدرها، لا يواريه شيء، وربما أظهرت عنقها وذوائب شعرها وأقرطة آذانها. …والخُمُر: جمع خِمار، وهو ما يُخَمر به، أي: يغطى به الرأس، وهي التي تسميها الناس المقانع
“Khimar, nama lainnya adalah Al-Maqani’, yaitu kain yang memiliki ujung-ujung yang dijulurkan ke dada wanita, untuk menutupi dada dan payudaranya, hal ini dilakukan untuk menyelisihi syi’ar wanita jahiliyyah karena mereka tidak melakukan yang demikian, bahkan wanita jahiliyyah dahulu melewati para lelaki dalam keadaan terbuka dadanya, tidak tertutupi sesuatu, terkadang memperlihatkan lehernya dan ikatan-ikatan rambutnya, dan anting-anting yang ada di telinganya. Dan khumur adalah jama’ dari khimar, artinya apa-apa yang digunakan untuk menutupi, maksudnya disini adalah yang digunakan untuk menutupi kepala, yang manusia menyebutnya Al-Maqani’ (Tafsir Ibnu Katsir 10/218, cet. Muassah Qurthubah)

Lihat keterangan yang semakna di kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Al-Baghawy, Tafsir Al-Alusy, Fathul Qadir dll, ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31.
Dan kitab-kitab fiqh seperti Mawahibul Jalil (4/418, cet. Dar ‘Alamil Kutub), Al-Fawakih Ad-Dawany (1/334 cet. Darul Kutub Al-’Ilmiyyah), Mughny Al-Muhtaj (1/502, cet. Darul Ma’rifah) dll.
Demikian pula kitab-kitab lughah (bahasa) seperti Al-Mishbahul Munir (1/248, cet. Al-Mathba’ah Al-Amiriyyah), Az-Zahir fii ma’ani kalimatin nas (1/513, tahqiq Hatim Shalih Dhamin), Lisanul ‘Arab hal:1261, Mu’jamu Lughatil Fuqaha, dll.

Yang intinya bahwa pengertian khimar di dalam surat An-Nur ayat 31 adalah kain kerudung yang digunakan wanita untuk menutup kepala sehingga tertutup rambut, leher, anting-anting dan dada mereka. Sementara itu wajib bagi wanita muslimah mengenakan jilbab setelah mengenakan khimar ketika keluar rumah, sebagaimana tercantum dalam firman Allah ta’ala pada Surat Al-Ahzab ayat 59.

ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا [٣٣:٥٩]
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzaab: 59)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata tentang QS. Al-Ahzaab: 59 dalam tafsirnya (Lihat Kitab Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir yang ditahqiq oleh Dr. 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh dan diterbitkan oleh Mu'assasah Daar al-Hilaal Kairo, Cet. I, Th. 1414H-1994M atau dalam edisi terjemahan Indonesia dengan judul Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7 yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'i, Jakarta hlm. 338-339)

ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman memerintahkan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam untuk memerintahkan wanita (khususnya isteri-isteri dan anak-anak perempuan beliau karena kemuliaan mereka) untuk mengulurkan jilbab mereka, agar mereka berbeda dengan ciri-ciri wanita Jahiliyyah dan ciri-ciri wanita budak. Jilbab adalah ar-rida' (kain penutup) lebih besar dari khimar (kerudung). Itulah yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud, 'Ubaidah, Qatadah, al-Hsan al-Bashri, Sa'id bin Jubair, Ibrahim an-Nakha'i, 'Atha' al-Khurasani dan selain mereka. Jilbab sama dengan izar (kain) saat ini. Al-Jauhari berkata: "Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh."

Seorang wanita dari suku Hudzail berkata ketika berduka cita atas kematian keluarganya:
"Burung-burung elang berjalan mendatanginya dengan tenang
Seperti jalannya gadis-gadis yang mengenakan jilbab-jilbabnya"

'Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu 'Abbas: "ALLAH memerintahkan wanita-wanita kaum Mukminin, jika keluar dari rumah mereka untuk satu keperluan agar menutup wajah mereka dari atas kepala mereka dengan jilbab serta menampakkan satu mata."

Muhammad bin Sirin berkata: "Aku bertanya kepada 'Ubaidah as-Salmani tentang firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Lalu dia menutup wajah dan kepalanya serta menampakkan matanya yang kiri. 'Ikrimah berkata: 'Dia menutup bagian pipinya dengan jilbabnya yang dijulurkan di atasnya.'"

Ibnu Abi Hatim berkata, bahwa Ummu Salamah radhiyallahu 'anha berkata: "Tatkala ayat ini turun, يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka," wanita-wanita Anshar keluar, seakan-akan di atas kepala mereka itu terdapat burung gagak karena ketenangan jalannya. Di atas mereka terdapat pakaian-pakaian hitam yang mereka pakai.

Ibnu Abi Hatim berkata, ayahku bercerita kepadaku, dari Abu Shalih, dari al-Laits, bahwa Yunus bin Zaid berkata: Kami bertanya kepada az-Zuhri: "Apakah budak wanita wajib memakai kerudung, baik dia sudah kawin atau belum kawin?" Beliau menjawab: "Wajib baginya memakai kerudung jika dia sudah kawin, dan (jika belum kawin) ia dilarang berjilbab karena makruh bagi mereka menyamai wanita-wanita merdeka dan muhshan. Mengenai hal tersebut, ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".

As-Suddi berkata dalam firman ALLAH Subahnahu Wa Ta'ala: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu." Dahulu orang-orang fasik penduduk Madinah keluar di waktu malam di saat kegelapan malam menyusuri jalan-jalan Madinah. Lalu mereka mencari wanita-wanita. Dahulu, rumah-rumah penduduk Madinah sangat sempit. Jika waktu malam tiba, wanita-wanita itu keluar ke jalan-jalan untuk menunaikan hajat mereka. Lalu orang-orang fasik itu mencari-cari mereka. Jika mereka melihat wanita-wanita memakai jilbab, mereka berkata: "Ini wanita merdeka, tahanlah diri dari mereka." Dan jika mereka melihat wanita tidak memakai jilbab, mereka berkata: "Ini adalah budak wanita." Maka mereka pun menggodanya.

Mujahid berkata: "Mereka berjilbab, sehingga mereka dikenal sebagai wanita-wanita merdeka. Maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu dan menggoda."

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا "Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Terhadap apa yang telah berlalu di masa Jahiliyyah sebab mereka tidak tahu hukumnya. Kemudian ALLAH mengancam orang-orang munafik, yaitu mereka yang menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran.

Para ulama berbeda-beda dalam menafsirkan jilbab, ada yang mengatakan sama dengan khimar, ada yang mengatakan lebih besar, dll (lihat Lisanul Arab hal: 649). Dan yang benar –wallahu a’lamu- jilbab adalah pakaian setelah khimar, lebih besar dari khimar, menutup seluruh badan wanita.

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:
والجلباب هو: الرداء فوق الخمار
“Dan jilbab adalah pakaian di atas khimar.” (Tafsir Ibnu Katsir 11/252)

Berkata Al-Baghawy rahimahullahu:
وهو الملاءة التي تشتمل بها المرأة فوق الدرع والخمار.
“Jilbab nama lainnya adalah Al-Mula’ah dimana wanita menutupi dirinya dengannya, dipakai di atas Ad-Dir’ (gamis/baju panjang dalam/daster) dan Al-Khimar.” (Ma’alimut Tanzil 5/376, cet. Dar Ath-Thaibah)

Berkata Syeikhul Islam rahimahullahu:
و الجلابيب هي الملاحف التي تعم الرأس و البدن
“Dan jilbab nama lain dari milhafah, yang menutupi kepala dan badan.” (Syarhul ‘Umdah 2/270)

Berkata Abu Abdillah Al-Qurthuby rahimahullahu:
الجلابيب جمع جلباب، وهو ثوب أكبر من الخمار…والصحيح أنه الثوب الذي يستر جميع البدن. “الجلابيب
adalah jama’ جلباب, yaitu kain yang lebih besar dari khimar…dan yang benar bahwasanya jilbab adalah kain yang menutup seluruh badan.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran 17/230, tahqiq Abdullah At-Turky)

Berkata Syeikh Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullahu:
فقد قال غير واحد من أهل العلم إن معنى : يدنين عليهن من جلابيبهن : أنهن يسترن بها جميع وجوههن ، ولا يظهر منهن شيء إلا عين واحدة تبصر بها ، وممن قال به ابن مسعود ، وابن عباس ، وعبيدة السلماني وغيرهم
“Beberapa ulama telah mengatakan bahwa makna ” يدنين عليهن من جلابيبهن” bahwasanya para wanita tersebut menutup dengan jilbab tersebut seluruh wajah mereka, dan tidak nampak sesuatupun darinya kecuali satu mata yang digunakan untuk melihat, diantara yang mengatakan demikian Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan Ubaidah As-Salmany dan lain-lain.” (Adhwa’ul Bayan 4/288).

Datang dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah:
والمشروع أن يكون الخمار ملاصقا لرأسها، ثم تلتحف فوقه بملحفة وهي الجلباب؛ لقول الله سبحانه: سورة الأحزاب الآية 59 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ الآية.
“Yang disyari’atkan adalah hendaknya khimar menempel di kepalanya, kemudian menutup di atasnya dengan milhafah, yaitu jilbab, karena firman Allah ta’alaa dalam surat Al-Ahzab ayat 59:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/176)

Berkata Syeikh Al-Albany rahimahullahu:
فالحق الذي يقتضِيه العمل بما في آيتي النّور والأحزاب ؛ أنّ المرأة يجب عليها إذا خرجت من دارها أنْ تختمر وتلبس الجلباب على الخمار؛ لأنّه كما قلنا : أسْتر لها وأبعد عن أنْ يصف حجم رأسها وأكتافها , وهذا أمر يطلبه الشّارع … واعلم أنّ هذا الجمع بين الخمار والجلباب من المرأة إذا خرجت قد أخلّ به جماهير النّساء المسلمات ؛ فإنّ الواقع منهنّ إمّا الجلباب وحده على رؤوسهن أو الخمار , وقد يكون غير سابغ في بعضهن… أفما آن للنّساء الصّالحات حيثما كنّ أنْ ينْتبهن من غفلتهن ويتّقين الله في أنفسهن ويضعن الجلابيب على خُمرهن
“Maka yang benar, sebagai pengamalan dari dua ayat, An-Nur dan Al-Ahzab, adalah bahwasanya wanita apabila keluar dari rumahnya wajib atasnya mengenakan khimar dan jilbab di atas khimar, karena yang demikian lebih menutup dan lebih tidak terlihat bentuk kepala dan pundaknya, dan ini yang diinginkan Pembuat syari’at…dan ketahuilah bahwa menggabungkan antara khimar dengan jilbab bagi wanita apabila keluar rumah telah dilalaikan oleh mayoritas wanita muslimah, karena yang terjadi adalah mereka mengenakan jilbab saja atau khimar saja, itu saja kadang tidak menutup seluruhnya… apakah belum waktunya wanita-wanita shalihah dimanapun mereka berada supaya sadar dari kelalaian mereka dan bertaqwa kepada Allah dalam diri-diri mereka, dan mengenakan jilbab di atas khimar-khimar mereka?” (Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah hal: 85-86)

Berkata Syeikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu:
حجابها باللباس، وهو يتكون من: الجلباب والخمار، …فيكون تعريف الحجاب باللباس هو:ستر المرأة جميع بدنها، ومنه الوجه والكفان والقدمان، وستر زينتها المكتسبة بما يمنع الأجانب عنها رؤية شيء من ذلك، ويكون هذا الحجاب بـ الجلباب والخمار
“Hijab wanita dengan pakaian terdiri dari jilbab dan khimar, maka definisi hijab dengan pakaian adalah seorang wanita menutupi seluruh badannya termasuk wajah, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki, dan menutupi perhiasan yang dia usahakan dengan apa-apa yang mencegah laki-laki asing melihat sebagian dari perhiasan-perhiasan tersebut, dan hijab ini terdiri dari jilbab dan khimar.” (Hirasatul Fadhilah 29-30) Sebagian ulama mengatakan bahwa jilbab tidak harus satu potong kain, akan tetapi diperbolehkan 2 potong dengan syarat bisa menutupi badan sesuai dengan yang disyari’atkan (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/178)

Saudariku, dari penjelasan Tafsir QS. An-Nuur: 31 dan QS. Al-Ahzaab: 59 di atas, ada tentang hukum cadar. Bagaimana para wanita-wanita zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memakai cadar. Adapun tentang hukum cadar, termasuk ke dalam masalah ijtihadiyyah dimana para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada yang menyatakan bahwa cadar itu wajib, sunnah, hingga tidak wajib sama sekali, semua pendapat berdasarkan dalil yang sama-sama shahih dan rajih. Namun, yang paling rajih dan diambil oleh mayoritas ulama dan para asatidz ahlus sunnah bahwa hukum cadar adalah lebih ditekankan atau lebih diutamakan untuk dipakai, yaitu sunnah. Namun, aku pribadi mengambil pendapat yang mewajibkan cadar karena mudharat yang ditimbulkan jauh lebih besar jika aku tidak memakai cadar, dibandingkan aku memakai cadar.

Untuk penjelasan lengkap tentang hukum cadar, silakan membeca artikelnya di link berikut:
1. Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan (1)
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-dalil-dalil-ulama-yang-mewajibkan-1.html
2. Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan (2)
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-dalil-dalil-ulama-yang-mewajibkan-2.html
3. Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan (3)
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-dalil-dalil-ulama-yang-tidak-mewajibkan-3.html
4. Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan (4)
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-dalil-dalil-ulama-yang-tidak-mewajibkan-4.html
5. Hukum Cadar: Kesimpulan Antara 2 Pendapat Ulama (5)
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-kesimpulan-antara-2-pendapat-ulama-5.html

Ataupun jika engkau ingin mengatahui kitab-kitab yang membahas tentang hukum cadar, aku rekomendasikan untuk membaca:
1. Kitab Jilbaab Al-Mar'atu Al-Muslimah atau Jilbab Mar'atil Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani atau terjemahan Indonesia yang berjudul Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, yang sudah diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan atau yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'i dengan judul Kriteria Jilbab Muslimah.
2. Kitab Risaalatul Hijaab karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin atau terjemahan Indonesia yang berjudul Hukum Cadar, yang diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan.
3. Kitab Al-Fatawa al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, Syaikh Abdullah bin Humaid, Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, dan Lajnah Daimah Lil Ifta' Arab Saudi atau dalam terjemahan Indonesia yang berjudul Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Jilid 3, yang diterbitkan oleh Pustaka Darul Haq.
4. Kitab Al-Fatawa asy-Syar'iyyah Fii al-Masa'il al-'Ashriyyah Min Fatawa Ulama' al-Balad al-Haram oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, dan Lajnah Da'imah Lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta' atau dalam terjemahan Indonesia yang berjudul Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 3, yang diterbitkan oleh Pustaka Darul Haq.

-Bersambung, insya ALLAH-

Maraji':
- AL-QUR'AN
-
Kitab Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir yang ditahqiq oleh Dr. 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh dan diterbitkan oleh Mu'assasah Daar al-Hilaal Kairo, Cet. I, Th. 1414H-1994M atau dalam edisi terjemahan Indonesia dengan judul Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6 dan Jilid 7 yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'i
- Kitab Jilbaab Al-Mar'atu Al-Muslimah atau Jilbab Mar'atil Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani atau terjemahan Indonesia yang berjudul Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, yang sudah diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan atau yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'i dengan judul Kriteria Jilbab Muslimah.
- Kitab Risaalatul Hijaab karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin atau terjemahan Indonesia yang berjudul Hukum Cadar, yang diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan.
- Kitab Al-Fatawa al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, Syaikh Abdullah bin Humaid, Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, dan Lajnah Daimah Lil Ifta' Arab Saudi atau dalam terjemahan Indonesia yang berjudul Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Jilid 3, yang diterbitkan oleh Pustaka Darul Haq.
- Kitab Al-Fatawa asy-Syar'iyyah Fii al-Masa'il al-'Ashriyyah Min Fatawa Ulama' al-Balad al-Haram oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, dan Lajnah Da'imah Lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta' atau dalam terjemahan Indonesia yang berjudul Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 3, yang diterbitkan oleh Pustaka Darul Haq.

- Catatan pribadi dari faedah ta'lim Ustadzuna Abu Usamah di Mesjid Amar Ma'ruf Bekasi.

Dari Saudarimu yang Mencintaimu karena ALLAH Azza Wa Jalla,
Ummu Zahratin Nisa Lathifah Annisa Nur Fitriyani Bintu Bambang Setiawan
Ditulis pada Minggu, 31 Juli 2011
Selesai pada Selasa, 15 Agustus 2011
Di Rumahku, Kebebasanku, Bekasi.

1 comments:

Ummu Shiddiq said...

Izin share ya Ukht..

Abul Qa’qa’ mengatakan

و من هنا ينبغي للمرء أن يبحث له عن زميل صالح, و خل جاد ناصح, بحيث يكونان متلازمين في أغلب الأوقات, و يحث كل منهما صاحبه على الطلب و التحصيل, و يشد كل منهما من أزر الآخر و يسد كل منهما الآخر إن أخطأ, و يعينه و يحفزه إن أصاب و وفق, و يغيب كل منهما للآخر ما حفظه من العلم, و يقرآن سوياً, و يراجعان سويا, و يبحثان المسائل, و يحققا سويا

“Seseorang harus mencari kawan yang shalih, rajin dan suka menasehati, agar (ia) selalu bisa bersamanya pada sebagian besar waktunya, saling memotivasi dalam belajar dan saling menguatkan semangat sesamanya, mengingatkannya bila ia salah, dan mendukungnya bila ia benar dan mengevaluasi apa yang telah ia hafal, baca, diskusikan, dan kaji tentang sebuah permasalahan dengan selalu bersama-sama."

[كيف تتحمس لطلب العلم الشرعي/Kaifa Tatahammas Li Thalabil ‘Ilmi Asy-Syar’i/. محمد بن صالح بن إسحاق الصيعري / Muhammad ibn Shalih ibn Ishaq Ash-Shi’ri /. 1419 H. فهرسة مكتبة الملك فهد الوطنية أثناء النشر /Fahrasah Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyyah Ats-naa`a An-Nasyr.]