Di antara perkataan a-immatussalaf kepada anaknya adalah:

يا بني لأن تتعلم باباً من الأدب أحب إليَّ من أن تتعلم سبعين باباً من أبواب الفقه

“Wahai anakku satu bab kamu pelajari tentang adab maka itu jauh lebih aku cintai daripada kamu pelajari tujuh puluh bab dari fiqih (dari ilmu).”

[Diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah bahwa mereka (as-salafush shalih) melakukan rihlah (perjalanan) untuk mempelajari adab selama dua puluh tahun lamanya, kemudian mereka rihlah mencari ilmu selama sepuluh tahun.]

2011-08-16

^MENJADI WANITA DAMBAAN ISLAM^ (bagian 3)


إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له من يضلل فلا هاديله، وأشهد أن لا إلـه إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.

Segala puji bagi Allah, kita memujinya, memohon pertolongan dan ampunan kepadaNya kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejelekan amalan-amalan kita, barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah hamba dan utusan Allah.


يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله حق تقاته، ولاتموتن إلاوأنتم مسلمون۝

“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (QS. Ali ‘Imran : 102)


يأيهاالناس اتقواربكم الذى خلقكم من نفس وحدة وخلق منهازوجها وبث منهمارجالاكثيرا ونساءۚ واتقوا الله الذى تساءلون به والأرحامۚ إن الله كان عليكم رقيبا۝

“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripadanya keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) NamaNya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silahturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisa’ :1)


يأيهاالذين ءامنوا اتقوا الله وقولوقولاسديدا۝ يصلح لكم أعملكم ويغفرلكم ذنوبكمۗ ومن يطع الله ورسوله، فقدفازفوزاعظيما۝

“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu sosa-dosamu dan barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzaab : 70-71)


Amma ba’du :

فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشرالأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل

ضلالة فيالنار.

“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu ditempatnya di Neraka.”


*Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah, yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Sahabatnya. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Sahabat Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097, 2118), an-Nasa-I (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214, VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini shahih.


=> Bukan berfungsi sebagai perhiasan
Berdasarkan firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala dalam QS. An-Nuur: 31 وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya .”
Dan juga firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala dalam QS. AL-Ahzab: 33 وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Ada tiga golongan yang tidak akan ditanya (karena mereka sudah pasti termasuk orang-orang yang binasa atau celaka): Seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah dan mendurhakai imannya serta meninggal dalam keadaan durhaka; seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu ia mati; serta seorang waniya yang ditinggal pergi suaminya, padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiga itu tidak akan ditanya.” [Dikeluarkan oleh al-Hakim (I: 119) dan Ahmad (VI: 19) dari hadits Fadhallah bin Ubaid dengan sanad shahih. As-Suyuthi dalam kitab Al-Jamii' menyatakan hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, Abu Ya'la, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu'ab. Al-Hakim berkata, “Menurut syarat keduanya, dan aku tidak melihat adanya cacat.” Hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi, sedangkan Ibnu Asakir menghasankannya dalam kitab Madhut Tawadhu' (V: 88/1).]

Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. [Demikian seperti yang disebutkan dalam Fathul Bayan (VII: 274). Selanjutnya ia mengatakan, “Ada yang berpendapat bahwa tabarruj adalah kegenitan, berjingkrak-jingkrak, dan bergaya ketika berjalan. Namun pendapat dan definisi seperti ini adalah lemah sekali. Yang paling tepat adalah definisi yang pertama di atas.”]

Yang dimaksud dengan perintah mengenakan jilbab adalah menutupi perhiasan wanita. Dengan demikian tidaklah masuk akal jika jilbab itu sendiri berfungsi sebagai perhiasan. Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Al-Kaba'ir (hal.131) mengatakan, “Di antara perbuatan yang menyebabkan wanita itu mendapatkan laknat adalah menampakkan perhiasan, emas dan mutiara yang berada di bawah niqab (tutup kepalanya), memakai berbagai wangi-wangian seperti: al-misk, al-'anbar, dan at-tibb apabila keluar rumah, memakai berbagai kain celupan, memakai pakaian sutera, memanjangkan baju dan melebarkan serta memanjangkan lengannya (hingga melampaui batas). Semuanya itu termasuk jenis tabarruj yang dimurkai oleh ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala, dan pelakunya dimurkai di dunia maupun di akhirat. Lantaran perbuatan ini banyak dilakukan oleh kaum wanita, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: “Saya melongok ke neraka dan saya lihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.”

=> Kainnya harus tebal, tidak tipis
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat. (1) Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakannya untuk memukul orang. (2) Wanita-wanita berpakaian, tetapi sama juga dengan bertelanjang (karena pakaiannya terlalu minim, terlalu tipis atau tembus pandang, terlalu ketat, atau pakaian yang merangsang pria karena sebagian auratnya terbuka), berjalan dengan berlenggok-lenggok, mudah dirayu atau suka merayu, rambut mereka (disasak) bagaikan punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga. Padahal bau surga itu dapat tercium dari begini dan begini." [HR. Muslim (no.3971) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

“Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka itu adalah kaum wanita yang terkutuk.”

Di dalam hadits lain terdapat tambahan:
لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan memperoleh baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan (jarak) sekian dan sekian.” [Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu'Jam Ash-Shaghir (hal.232) dari hadits Ibnu Amru dengan sanad shahih, sedangkan hadits yang lain tersebut dikeluarkan oleh Muslim dari riwayat Abu Hurairah. Telah dijelaskan oleh Syaikh Albani dalam Ats-Tsamar Al-Mustathab fii Fiqhis Sunnati wal Kitab dalam Al-Hadits Ash-Shahihah (1326) dan juga dalam Takhrij Ahadits Al-Halal wa Al-Haram (85).]

Ibnu Abdil Barr berkata, “Yang dimaksud Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang.” [Dikutip oleh As-Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik (III:103).]

Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahwasanya Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu pernah memakaikan baju Qubthiyah (jenis pakaian ala Mesir yang tipis dan berwarna putih, barangkali nama ini dinisbatkan kepada suku Qibthi yang tinggal di negeri Mesir.), kemudian Umar berkata, “Jangan kamu pakaikan baju itu untuk istri-istrimu!” Seseorang kemudian bertanya, “Wahai Amirul Mukminin! Telah saya pakaikan ia kepada istriku, dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidak melihatnya sebagai pakaian yang tipis!” Maka Umar menjawab, “Sekalipun tidak tipis, namun ia mensifati (menggambarkan lekuk tubuh).” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (II: 234-235) dan ia mengatakan sebagai hadits mursal. Yakni karena adanya keterputusan antara Abdullah bin Abi Salamah dengan Umar Al-Khaththab. Akan tetapi rijalnya tsiqah. Hadits ini dikuatkan oleh perkataan Al-Baihaqi sendiri setelah menyebutkan hadits ini, “Diriwayatkan pula oleh Muslim Al-Biththin dari Abi Shalih dari Umar.”]

Atsar di atas menunjukkan bahwa pakaian yang tipis atau yang dapat mensifati dan menggambarkan lekuk-lekuk tubuh adalah dilarang. Yang tipis (transparan) itu lebih parah dari yang menggambarkan lekuk tubuh (tapi tebal). Oleh karena itu 'Aisyah radhiyallahu 'anha pernah berkata, “Yang namanya khimar adalah yang dapat menyembunyikan kulit dan rambut.” [Disebutkan oleh Al-Baihaqi (II: 235) secara mu'allaq. Al-Baihaqi mengatakan, “Kami riwayatkan dari 'Aisyah bahwasanya ia pernah ditanya mengenai khimar, lalu ia menjawab, … (seperti di atas).]

Syamisah berkata, “Aku pernah mengunjungi 'Aisyah yang mengenakan pakaian siyad yang tebal, baju, khimar serta nuqbah (sejenis rok) yang diberi warna (diwenter) dengan usfur.” [Dikeluarkan oleh Ibnu Sa'd (VIII: 70) dengan sanad shahih sampai pada Syamisah, yaitu Syamisah binti Aziz bin Amir Al-Atakiyah Al-Bashriyah. Al-Hafizh mengatakan, “Ia maqbulah (haditsnya sapat diterima).”]

Karena itulah para ulama mengatakan, “Diwajibkan menutup aurat dengan pakaian yang tidak dapat mensifati warna kulit, berupa pakaian yang cukup tebal atau yang terbuat dari kulit. Menutupi aurat dengan pakaian yang masih dapat menampakkan warna kulit (umpamanya dengan pakaian yang tipis) adalah tidak dibolehkan karena hal itu tidak memenuhi kriteria “menutupi”.” [Disebutkan dalam kitab Al-Muhadzdzab (III: 170 dengan Syarh Al-Majmu'.]

=> Harus longgar, tidak ketat sehingga tidak dapat menggambarkan sesuatu dari tubuhnya
Usamah bin Zaid pernah berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberiku baju Qubthiyah yang tebal (biasanya baju Qubthiyah itu tipis) yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku, “Mengapa kamu tidak mengenakan baju Qubthiyah?” Aku menjawab, “Aku pakaikan baju itu pada istriku.” Nabi lalu bersabda, “Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam di balik Qubthiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya.” [Dikeluarkan oleh Ad-Dhiya' Al-Maqdisi dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah (I: 441), Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan. Lihat lebih lengkap tentang hadits ini pada kitab Ats-Tsamar Al-Musththab karya Syaikh Al-Albani.]

'Aisyah radhiyallahu 'anha pernah berkata: “Seorang wanita dalam mengerjakan shalat harus mengenakan tiga pakaian: baju, jilbab, dan khimar.” Adalah 'Aisyah pernah mengulurkan izar-nya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya.” [Dikeluarkan oleh Ibnu Sa'd (VIII: 71) dengan isnad shahih berdasarkan syarat Muslim.]

'Aisyah mensyaratkan hal itu agar tidak ada bagian dari pakaian yang dikenakannya itu dapat menggambarkan tubuhnya. Perkataan 'Aisyah “harus” merupakan bukti (dalil) mengenai wajibnya hal itu. Pendapat yang senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu: “Jika seorang wanita menunaikan shalat, maka ia harus mengenakan seluruh pakaiannya: baju, khimar, dan milhafah (mantel).” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf (II: 26/1).]

=> Tidak diberi mewangian atau parfum
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى أَخْبَرَنَا ثَابِتُ بْنُ عُمَارَةَ حَدَّثَنِي غُنَيْمُ بْنُ قَيْسٍ عَنْ أَبِي مُوسَى
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ الْمَرْأَةُ فَمَرَّتْ عَلَى الْقَوْمِ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ كَذَا وَكَذَا قَالَ قَوْلًا شَدِيدًا
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya berkata, telah mengabarkan kepada kami Tsabit bin Umarah berkata, telah menceritakan kepadaku Ghunaim bin Qais dari Abu Musa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jika seorang wanita memakai wewangian, lalu sengaja melewati suatu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia adalah begini dan begini." Beliau mengatakan itu dengan intonasi yang keras." [HR. Abu Dawud (no.3642), dihasankan oleh Syaikh Al-Albani, via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ عَنْ ثَابِتِ بْنِ عُمَارَةَ الْحَنَفِيِّ عَنْ غُنَيْمِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ أَبِي مُوسَى
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِي زَانِيَةً
وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Qattan dari Tsabit bin 'Umarah Al Hanafi dari Ghunaim bin Qais dari Abu Musa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Setiap mata memiliki bagian dari zina, dan wanita yang memakai wewangian kemudian lewat di perkumpulan (lelaki) berarti dia begini dan begini." Maksud beliau berbuat zina. Dan dalam bab ini ada juga hadits dari Abu Hurairah, Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih. [HR. At-Tirmidzi (no.2710), dihasankan oleh Syaikh Al-Albani, via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

حَدَّثَنَا النُّفَيْلِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو عَلْقَمَةَ قَالَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ خُصَيْفَةَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلَا تَشْهَدَنَّ مَعَنَا الْعِشَاءَ قَالَ ابْنُ نُفَيْلٍ عِشَاءَ الْآخِرَةِ
Telah menceritakan kepada kami An nufaili dan Sa'id bin Manshur keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Abu Alqamah ia berkata; telah menceritakan kepadaku Yazid bin Khushaifah dari Busr bin Sa'id dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wanita mana saja yang terkena bakhur (wewangian), maka jangan sekali-kali ia shalat isya bersama kami." Ia (perawi) berkata, "Maksudnya adalah shalat isya yang akhir (larut malam)." [HR. Abu Dawud (no.3644), dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

Dari Musa Al-Asy'ari bahwasanya ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: “Siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” [Dikeluarkan oleh An-Nasa'i (II: 283), Abu Dawud (II: 192), At-Tirmidzi (IV: 17 dengan syarahnya Al-Mubarakfuri), Al-Hakim (II: 396), Ahmad (IV: 400 dan 413), Ibnu Khuzaimah (III: 91/1681) dan Ibnu Hibban (1474-Mawarid), At-Tirmidzi menyatakan hasan shahih, sedangkan Al-Hakim menyatakan shahihul isnad dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa isnadnya hasan.]

Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka janganlah sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian!” [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu 'Awanah dalam kedua kitab Shahih-nya, juga dikeluarkan oleh Ash-Shabus Sunan dan lainnya. Tentang sanad kedua hadits ini telah kami bicarakan dalam kitab Ats-Tsamar Al-Musththab dan dalam Ash-Shahihah (1094).]

Dari Musa bin Yasar, dari Abu Hurairah: “Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangiannya menerpanya. Maka Abu Hurairah berkata, 'Wahai hamba ALLAH! Apakah kamu hendak ke masjid?' Ia menjawab. 'Ya!' Abu Hurairah kemudian berkata lagi, 'Apakah kamu mengenakan minyak wangi?' Ia menjawab, 'Ya.' Abu Hurairah berkata lagi, 'Pulanglah saja, lalu mandilah! Karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang wanita keluar menuju masjid, sedangkan bau wewangiannya menghembus maka ALLAH tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi (baru kemudian shalat ke masjid).” [Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi (III: 133 dan 246) melalui jalur Al-Auza'i dari Musa bin Yasar. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam kitab Jilbab Mar'atil Muslimah bahwa isnadnya adalah shahih bila yang dimaksud dengan Ibnu Yasar di sini adalah Al-Kalbi Al-Madani, karena ia mempunyai riwayat dari Abu Hurairah. Akan tetapi jika yang dimaksudkan adalah dengan Ibnu Yaar itu adalah Al-Urduni maka hadits ini munqathi'. Ini kelihatannya yang lebih mendekati. Para ahli hadits menyebutkan bahwa di antara yang mengambil periwayatannya adalah Al-Auza'i dan hadits ini adalah salah satu riwayat hidupnya bahwa ia memursalkan hadits dari Abu Hurairah. Wallahu a'lam.]

Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi. Para ulama bahkan mengikutkan sesuatu yang semakna dengannya, seperti pakaian indah, perhiasan yang tampak dan hiasan (aksesoris) yang megah, serta ikhtilath (berbaur) dengan kaum laki-laki.” [Lihat Fathul Baari (II: 279).]

Ibnu Daqiq Al-'Id berkata, “Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki.” [Dikutip oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadir dalam mensyarah hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.]

Syaikh Al-Albani mengatakan dalam kitab Jilbab Mar'atil Muslimah, “Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu jauh lebih haram dan lebih besar dosanya. Al-Haitsami dalam kitab Az-Zawajir (II: 37) menyebutkan bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai harum-haruman dan berhias adalah termasuk perbuatan kaba'ir (dosa besar), meskipun suaminya mengizinkannya.”

Perlu diketahui bahwa hadits-hadits ini adalah bersifat umum yang meliputi setiap waktu. Hanya saja di dalam hadits yang ketiga di atas disebutkan waktu secara khusus, yaitu waktu Isya' yang akhir, karena fitnah ketika itu jelas lebih besar dan lebih berbahaya. Maka jangan sampai disalahpahami bahwa keluarnya kaum wanita selain waktu ini dianggap boleh. Ibnu Malik berkata, “Yang jelas bahwa waktu tersebut disebut secara khusus karena saat itu adalah sudah gelap dan jalanan pun sudah sepi, sedangkan bau harum itu dapat membangkitkan birahi, sehingga kaum wanita jauh lebih tidak bisa aman dari fitnah pada saat-saat seperti itu. Berbeda dengan waktu lainnya, seperti Shubuh dan Maghrib yang agak terang. Sudah jelas bahwa memakai wewangian itu menghalangi seorang wanita untuk mendatangi masjid secara mutlak.” [Dinukil oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Mirqaat (II: 71).]

=> Tidak menyerupai pakaian laki-laki
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria.” [Dikeluarkan oleh Abu Dawud (II: 182), Ibnu Majah (I: 588), Al-Hakim (IV: 19), dan Ahmad (II: 325) dari jalan Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya, dari Abu Hurairah. Al-Hakim berkata, “Shahih menurut syarat Muslim” dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (1455-1456 – Mawarid), Al-Mundziri dalam At-Targhib (II: 105-106) dan Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (II: 98) mengatakannya sebagai diriwayatkan oleh An-Nasa'i. Barangkali dalam As-Sunnan Al-Kubra. Selanjutnya kitab tersebut dicetak dan memang ternyata hadits ini terdapat di dalamnya (V: 398). Kemudian Asy-Syaukani berkata, “Para perawinya adalah para perawi Ash-Shahih.”

Dari Abdullah bin Amru yang berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidak termasuk golongan kami, para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita.” [Dikeluarkan oleh Ahmad (II: 199-200), Abu Nu'aim dalam kitab Al-Hilyah (Hilyatul Auliya' wa Thabaqat Al-Ashfiyyaa) (III: 321).]

Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaknat kaum pria yang bertingkah seperti wanita dan kaum wanita yang bertingkah seperti laki-laki. Beliau bersabda, “Keluarkanlah mereka dari rumah kalian. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun mengeluarkan si fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan.”

Dalam lafadz lain: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria.” [HR. Bukhari (X: 274), Abu Dawud (II: 305), Ad-Darimi (II: 280-281), Ahmad (no.1982, 2066, dan 2123) dari jalan Hisyam Ad-Dustuwai dari Yahya bin Abi Katsir, dari Ikrimah, dari Ibnu 'Abbas. At-Tirmidzi (IV: 16-17) dan dishahihkannya, Ibnu Majah (I: 589), Ath-Thayalisi (no.2679), Al-Bukhari (X: 273), Adu Dawud (II: 182), dan Ahmad (no.2263, 3391, 3060, 3151, dan 4358).]

Abdullah bin Umar, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ وَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ الْمُتَشَبِّهَةُ بِالرِّجَالِ وَالدَّيُّوثُ
“Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan ALLAH tidak akan memandang mereka kelak pada hari kiamat, orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, seorang wanita yang bertingkah seperti laki-laki dan menyerupai laki-laki dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu).” [HR. An-Nasa'i (I: 357), Al-Hakim (I: 72) dan (IV: 146-147), Al-Baihaqi (X: 226) dan Ahmad (no.6180) dari dua jalan yang shahih dari Abdullah bin Yasar, budak Ibnu Umar, dari Salim dari Ibnu Umar dengan hadits tersebut. Al-Hakim berkata, “Isnadnya shahih.” Penilaiannya ini disepakati oleh Adz-Dzahabi.]

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ يَعْنِي ابْنَ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ أَخِيهِ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَسَارٍ مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَشْهَدُ لَقَدْ سَمِعْتُ سَالِمًا يَقُولُ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ وَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ الْمُتَشَبِّهَةُ بِالرِّجَالِ وَالدَّيُّوثُ وَثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ وَالِدَيْهِ وَالْمُدْمِنُ الْخَمْرَ وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى
Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah menceritakan kepada kami Ashim bin Muhammad yakni Ibnu Zaid bin Abdillah bin Umar bin Khaththab dari saudaranya Umar bin Muhammad dari Abdullah bin Yasar (budak Ibnu Umar) saya menyaksikan, saya mendengar Salim berkata, Abdullah Radliyallahu'anhuma berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Ada tiga golongan yang tidak masuk surga dan Allah tidak melihat mereka kelak pada hari kiamat yaitu, seorang yang durhaka kepada kedua orangtuanya, seorang wanita yang menyerupai laki-laki dan Dayyuts. Dan tiga golongan yang Allah tidak melihat mereka kelak pada hari kiamat yaitu, seorang yang durhaka kepada kepada kedua orangtuanya, pecandu khamer dan orang yang mengungkit-ngungkit pemberian." [HR. Ahmad (no. 5904) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَالْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالَ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ فَأَخْرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا
“Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum laki-laki, beliau bersabda: "Keluarkanlah mereka dari rumah kalian." Ibnu Abbas berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga pernah mengeluarkan fulan begitu juga Umar pernah mengeluarkan si fulan. [HR. Ahmad (no.1902) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

حَدَّثَنِي يَزِيدُ أَخْبَرَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا
“Telah menceritakan kepada kami Yazid telah mengabarkan kepada kami Hisyam dari Yahya dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas; bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaknat laki-laki yang meniru wanita (banci) dan wanita yang meniru laki-laki (tomboy), beliau bersabda: "Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengeluarkan fulan, dan Umar juga mengeluarkan fulan. [HR. Ahmad (no.2016) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim dalam kitabnya (Fiqhus Sunnah lin Nisaa'i wa Maa Yajibu an Ta'rifahu Kullu Muslimatin min Ahkaam atau dalam terjemahan Indonesia yang berjudul Fiqih Sunnah Wanita Jilid 2, terbitan Pustaka Ibnu Katsir, hal. 155-156) menjelaskan tentang hukum celana panjang bagi wanita: “Celana panjang adalah musibah paling jelek yang menimpa banyak kaum wanita (semoga ALLAH memberikan petunjuk kepada mereka), walaupun celana panjang tersebut menutupi aurat, hanya saja pakaian tersebut mencetaknya yang bisa menimbulkan daya tarik bagi kaum pria, dan menggairahkan syahwat, terutama warna, bentuk, dan macamnya yang beraneka ragam. Sementara engkau tahu bahwa di antara syarat pakaian seorang wanita yang sesuai dengan syara' adalah pakaian tersebut tidak sempit sehingga tidak membentuk keindahan tubuh, sampai-sampai celana panjang menjadi pakaian yang lebih memberikan daya tarik daripada pakaian yang pendek. Bisa jadi celana tersebut sangat ketat, atau warnanya sama dengan warna kulit sehingga seseorang berkhayal bahwa wanita tersebut tidak memakai apa-apa. Ini adalah kemaksiatan yang sangat menyeluruh. Oleh karena itu, seorang wanita tidak dibolehkan memakai celana panjang kecuali jika dipakai di hadapan suaminya (selama tidak menyerupai pakaian pria) dan tidak keluar ke hadapan mahram, apalagi orang lain (asing). Tidak mengapa ia memakainya di dalam pakaian yang menutupinya (abaya) karena celana tersebut bisa lebih menjaga untuk tidak terbuka, terutama ketika sedang mengendarai mobil dan yang semisalnya. Wallahu a'lam.

=> Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir
ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam QS. Al-Hadiid: 16
۞ أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ [٥٧:١٦]
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadiid: 16)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Al-Iqtidha' (hal. 43): “Firman ALLAH, “Janganlah mereka seperti...” merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, disamping merupakan larangan khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan.”

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini (IV: 310), berkata: “Karena itu, ALLAH melarang orang-orang yang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun cabang.”

ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ [٢:١٠٤]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah: 104)

Al-Hafizh Ibnu Katsir (I: 148) berkata: “ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala melarang hamba-hambaNya yang beriman untuk menyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata untuk tujuan mengejek (semoga laknat ALLAH ditimpakan kepada mereka). Jika mereka ingin mengatakan, “Dengarlah kami!”, mereka mengatakan “Raa'ina” sebagai plesetan dari kata “ru'unah” (artinya ketotolan). Sebagaimana firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala:
مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَٰكِن لَّعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا [٤:٤٦]
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): "Raa'ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: "Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.” (QS. An-Nisa: 46)

لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (QS. Al-Mujadillah: 22)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَس
“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Abu An Nadhr berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah menceritakan kepada kami Hassan bin Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: \"Barangsiapa bertasyabuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka." [HR. Abu Dawud (no.3512) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

=> Bukan libas syuhrah (pakaian untuk mencari popularitas)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ عِيسَى عَنْ شَرِيكٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ الْمُهَاجِرِ الشَّامِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ فِي حَدِيثِ شَرِيكٍ يَرْفَعُهُ قَالَ
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ زَادَ عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ قَالَ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isa berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Awanah. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Muhammad -yaitu Ibnu Isa- dari Syarik dari Utsman bin Abu Zur'ah dari Al Muhajir Asy Syami dari Ibnu Umar perawi berkata: dalam hadits Syarik yang ia marfu'kan ia berkata, "Barangsiapa memakai baju kemewahan (karena ingin dipuji), maka pada hari kiamat Allah akan mengenakan untuknya baju semisal. Ia menambahkan dari Abu Awanah, "lalu akan dilahab oleh api neraka." Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Awanah ia berkata, "Yaitu baju kehinaan." [HR. Abu Dawud (no.1511) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya ALLAH mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.” [HR. Abu Dawud (II: 172) dan Ibnu Majah (II: 278-279) dari jalan Abu 'Awanah dari Utsman bin Al-Mughirah, dari Al-Muhajir dari Umar radhiyallahu 'anhu.]

Syaikh Al-Albani mengatakan dalam kitabnya Jilbab Mar'atil Muslimah: “Libas Syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakaian tersebut mahal, yang dipakai oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun pakaian yang bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dan dengan tujuan riya'.”

Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (II: 94), “Ibnul Atsir berkata, Syuhrah artinya terlihatnya sesuatu. Maksud dari libas syuhrah adalah pakaiannya terkenal di kalangan orang-orang mengangkat pandangan mereka kepadanya. Ia berbangga terhadap orang lain dengan sikap angkuh dan sombong.”

Asy-Syaukani berkata, “Hadits ini menunjukkan diharamkannya mengenakan pakaian popularitas. Hadits ini tidak dikhususkan untuk pakaian mahal saja. Pakaian popularitas itu bisa berkenaan dengan orang miskin yang sengaja memakai pakaian yang berbeda dari pakaian masyarakat secara umum, agar orang-orang melihat dan kagum kepadanya, serta menganggapnya sebagai orang yang zuhud. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Ruslan. Jika pakaian ini ditujukan untuk meraih popularitas di kalangan masyarakat, maka tidak ada perbedaan antara pakaian mahal dan pakaian murah, antara yang sesuai dengan pakaian orang lain dan yang berbeda. Jadi, yang dipakai sebagai patokan adalah tujuan memakainya, sekalipun tidak sesuai dengan kenyataan.”

KESIMPULAN:
1. Jilbab itu hendaklah menutup seluruh badan, kecuali wajah dan dua telapak tangan (adapun tentang masalah cadar, para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, ada yang mengatakan wajib dan ada yang mengatakan sunnah, namun semuanya sepakat bahwa cadar merupakan syariat Islam dan bukan bid'ah karena para istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam & para shahabiyyah juga mengenakan cadar), seperti yang telah dijelaskan secara terperinci di atas.
2. Jilbab bukan merupakan perhiasan, justru jilbab adalah menutup perhiasan jadi janganlah memakai jilbab yang menggambar perhiasan seperti warna yang mencolok, pernak-pernak, dan aksesoris.
3. Tidak tipis dan tidak menampakkan bentuk tubuh
4. Tidak disemprot minyak wangi-wangian
5. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
6. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
7. Bukan merupakan pakaian untuk mencari popularitas

-Bersambung, insya ALLAH-

Maraji':
- AL-QUR'AN
-
Kitab Jilbaab Al-Mar'atu Al-Muslimah atau Jilbab Mar'atil Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani atau terjemahan Indonesia yang berjudul Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, yang sudah diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan atau yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'i dengan judul Kriteria Jilbab Muslimah.
- Kitab Fiqhus Sunnah lin Nisaa-i wa maa Yajibu an Ta'rifahu Kullu Muslimatin min Ahkaam karya Syaikh Abu Kamal bin as-Sayyid Salim, penerbit Al-Maktabah at-Taufiqiyyah atau dalam terjemahan Indonesia berjudul Ensiklopedia Fiqih Wanita Jilid 2 karya Syaikh Abu Kamal bin as-Sayyid Salim, penerbit Pustaka Ibnu Katsir.
- Catatan pribadi dari faedah ta'lim Ustadzuna Abu Usamah di Mesjid Amar Ma'ruf Bekasi.

Dari Saudarimu yang Mencintaimu karena ALLAH Azza Wa Jalla,
Ummu Zahratin Nisa Lathifah Annisa Nur Fitriyani Bintu Bambang Setiawan
Ditulis pada Minggu, 31 Juli 2011
Selesai pada Selasa, 15 Agustus 2011
Di Rumahku, Kebebasanku, Bekasi.

Mau tahu kelanjutannya...?

^MENJADI WANITA DAMBAAN ISLAM^ (bagian 2)


إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له من يضلل فلا هاديله، وأشهد أن لا إلـه إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.

Segala puji bagi Allah, kita memujinya, memohon pertolongan dan ampunan kepadaNya kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejelekan amalan-amalan kita, barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah hamba dan utusan Allah.


يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله حق تقاته، ولاتموتن إلاوأنتم مسلمون۝

“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (QS. Ali ‘Imran : 102)


يأيهاالناس اتقواربكم الذى خلقكم من نفس وحدة وخلق منهازوجها وبث منهمارجالاكثيرا ونساءۚ واتقوا الله الذى تساءلون به والأرحامۚ إن الله كان عليكم رقيبا۝

“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripadanya keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) NamaNya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silahturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisa’ :1)


يأيهاالذين ءامنوا اتقوا الله وقولوقولاسديدا۝ يصلح لكم أعملكم ويغفرلكم ذنوبكمۗ ومن يطع الله ورسوله، فقدفازفوزاعظيما۝

“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu sosa-dosamu dan barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzaab : 70-71)


Amma ba’du :

فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشرالأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل

ضلالة فيالنار.

“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu ditempatnya di Neraka.”


*Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah, yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Sahabatnya. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Sahabat Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097, 2118), an-Nasa-I (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214, VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini shahih.


Saudariku, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian melewati taman-taman surga maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya, “Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab, “Halaqoh-halaqoh dzikir.” (HR. at-Tirmidzi dan lain-lain)

Yang dimaksud dengan halaqoh dzikir yang merupakan taman-taman surga, yaitu sekelompok orang yang berdzikr di suatu tempat dengan dzikir dan tata cara yang diajarkan Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam atau berkumpul untuk membaca dan mempelajari al-Quran atau berkumpul untuk mempelajari ilmu agama.

Majelis zhikir (ilmu) adalah riyadhul min riyadhul jannah (taman dari taman-taman surga), atpi bukan majelis zhikir yang penuh dengan kebid'ahan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 'Tidaklah duduk suatu kaum yang berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat mengelilingi mereka serta ketenangan turun atas mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka di tengah-tengah malaikat yang ada disisi-NYA." (HR:Muslim)

Said bin Zubair mengatakan: "Semua yang melakukan ketaatan kepada Allah, karena Allah, maka dia orang yang berdzikir kepada Allah." (Al Adzkar 7)

Abu Hazzan ‘Atha` pernah ditanya: ”Apakah Majelis Dzikir itu?” Beliau menjawab:
مَجْلِسُ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَكَيْفَ تُصَلِّي وَكَيْفَ تَصُوْمُ وَكَيْفَ تَنْكِحُ وَكَيْفَ تَطْلُقُ وَتَبِيْعُ وَتَشْتَرِي
“Yaitu majelis tentang halal dan haram. Majelis yang mengajari bagaimana kamu shalat, puasa, menikah, talak, dan bagaimana kamu berjual beli.” (Al Hilyah 3/313)

Dari penukilan perkataan ‘Ulama salaf ini jelas bagi kita bahwa yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang di dalamnya disebutkan padanya “majalis adz-dzikr” atau “hilaqudz dzikr” adalah majelis ilmu yang di dalamnya dipelajari Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, jauh dari berbagai macam campuran bid’ah-bid’ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

Diantara yang menguatkan hal ini adalah beberapa nash Al-Qur’an dan sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah kepada ahli dzikir jika kalian tidak mengetahuinya.” (QS An-Nahl: 43)

Para ahli tafsir menafsirkan “ahli dzikir” dengan makna “Para ‘Ulama”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/571-572)

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

مَنْ اَغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ اْلأُولَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الثَّانِيَةَ فَكَأَنَمَا قَرَّبَ بَقْرَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْثَّالِثَةَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً, فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الْذِّكْرَ

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at kemudian berangkat di waktu pertama, maka seakan-akan dia berkurban seekor onta, dan barangsiapa yang berangkat di saat kedua maka seakan-akan dia berkurban seekor kerbau, dan barangsiapa yang berangkat di waktu ketiga maka seakan- akan dia berkurban seekor domba bertanduk, dan barangsiapa yang berangkat pada waktu keempat maka seakan-akan dia berkurban seekor ayam, dan barangsiapa yang datang pada waktu kelima maka seakan-akan dia berkurban seekor telor. Maka apabila imam telah keluar maka hadirlah para malaikat mendengarkan dzikir.”Yang dimaksudkan dengan dzikir di dalam hadits ini adalah khutbah dan nasehat. (Lihat kitab Al-I’lam bifawaid Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin: 4/173)

Ini semua menunjukkan bahwa makna “majalis adz dzikr” lebih lebih luas dari makna dzikir secara lisan, namun mencakup berbagai macam jenis amalan ketaatan seperti menuntut ilmu, belajar dan mengajar, memberi nasehat, yang jauh dari berbagai bentuk bid’ah dan kesesatan. Sedangkan “majalis adz dzikir” yang dinisbahkan kepada model dan cara berdzikirnya Arifin Ilham, lebih pantas dinamakan sebagai “majelis makr (yang menipu daya kaum muslimin)” dan bukan majelis dzikr.

Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Semua bid'ah sesat walaupun seluruh manusia menganggapnya baik." [Diriwayatkan oleh al Laalikaai (nomor 126), Ibnu Baththah (205), al Baihaqi dalam kitab al Madkhal Ilas Sunan (191), Ibnu Nashr dalam kitab
as Sunnah (nomor 70).]

Ayo, saudariku... marilah kita hadiri majelis-majelis dzikir, taman-taman surga... Ajaklah keluargamu, saudaramu, juga teman-temanmu. Bukankah sangat menyenangkan tamasya ke taman surga dengan orang-orang yang kita kasihi dan sayangi? ^ ^ Luangkanlah bahkan khususkanlah waktumu untuk hadir ke majelis dzikir. Berapa lama waktu yang kau habiskan hanya untuk meraih dunia sedangkan untuk meraih akhirat engkau enggan. Janganlah terperdaya dunia, yang menyebabkan engkau malas untuk menuntut ilmu syar'i, membuatmu ragu menghadiri majelis dzikir. Ingatlah saudariku,

"Pemahaman yang benar tentang agama Islam hanya bersumber dari Allah semata, oleh karena itu hendaknya seorang muslim disamping giat menuntut ilmu, selalu berdo'a dan meminta pertolongan kepada Allah ta'ala agar diberikan pemahaman yang benar dalam agama." [Lihat Bahjatun Naazhiriin (2/463).]

Bersemangatlah saudariku,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ

(bersemangatlah kamu terhadap apa yg bermanfaat bagimu dan jangan malas)

*lihat teks lengkapnya dalam shahih Muslim 4812
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ


Bagaimanakah membalas kebaikan ALLAH Azza Wa Jalla yang telah dikaruniakan kepada kita? Yaitu, dengan ketakwaan dan ketaatan kita kepada ALLAH Azza Wa Jalla dengan menjadi wanita dambaan Islam. Saudariku, tahukah engkau wanita seperti apakah yang didambakan oleh Dienul Islam? Berikut akan aku sampaikan faedah ta'lim dari Ustadzuna Abu Usamah, Lc yang disampaikan beliau beberapa waktu lalu.

Wanita yang didambakan Islam:
1. Wanita yang senantiasa bertakwa kepada ALLAH, baik dalam keadaan sendirian maupun dengan orang lain.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya...” (QS. Al-Ahzaab: 33)

"Sesungguhnya wanita itu adalah aurat, maka apabila keluar, setan akan menghiasinya." [Dikeluarkan oleh Al Bazzar dan At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam kitab Irwaul Ghalil jilid 1.]

2. Wanita yang bertakwa kepada ALLAH dalam shalatnya.

3. Wanita yang bertakwa kepada ALLAH dengan jilbab syar'i yang dicintai ALLAH dan Rasul-Nya.
Saudariku, hijab dapat dikatakan sebuah jilbab jika memiliki syarat. Adapun syaratnya, maka akan aku nukilkan syarat jilbab yang teslah dijelaskan para ulama. Dalam kitab Jilbaab Al-Mar'atu Al-Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani atau dalam edisi terjemahan Indonesia yang berjudul Jilbab Wanita Muslimah yang diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan, Solo yaitu sebagai berikut:

=> Menutup seluruh badan
ALLAH Azza Wa Jalla berfirman:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [٢٤:٣١]
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS. An-Nuur: 31)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata tentang QS. An-Nuur: 31 dalam tafsirnya (Lihat Kitab Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir yang ditahqiq oleh Dr. 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh dan diterbitkan oleh Mu'assasah Daar al-Hilaal Kairo, Cet. I, Th. 1414H-1994M atau dalam edisi terjemahan Indonesia dengan judul Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6 yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'i, Jakarta hlm. 288-294)

Ini merupakan perintah ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala kepada wanita-wanita Mukminah karena kecemburuan-Nya terhadap suami-suami mereka, para hamba-Nya yang beriman, dan untuk membedakan mereka dengan sifat wanita Jahiliyyah dan wanita musyrikah. Sebab turunnya ayat ini seperti yang disebutkan oleh Muqatil bin Hayyan, bahwa ia berkata: "Telah sampai kepada kami riwayat dari Jabir bin 'Abdillah al-Anshari, ia menceritakan bahwa Asma' bin Martsad berada di tempatnya di kampung Bani Haritsah. Di situ para wanita masuk menemuinya tanpa mengenakan kain sehingga tampaklah gelang pada kaki-kaki mereka dan tampak juga dada dan jalinan rambut mereka. Asma' berkata: "Sungguh jelek kebiasaan seperti ini." Lalu turunlah ayat: وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya”, yakni dari perkara yang haram mereka lihat, di antaranya melihat kepada laki-laki selain suami mereka.

Oleh sebab itu, sebagian besar ulama berpendapat, wanita tidak boleh melihat kepada laki-laki yang bukan mahram, baik disertai dengan syahwat atau tanpa syahwat. Sebagian besar dari ulama berdalil dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dari jalur az-Zuhri, dari Nabhan, maula Ummu Salamah, ia bercerita, Ummu Salamah bercerita kepadanya bahwa pada suatu hari ia dan Maimunah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata: “Ketika kami berada di sisi beliau, tiba-tiba datanglah Ibnu Ummi Maktum dan masuk menemui beliau. Peristiwa itu terjadi setelah turunnya perintah berhijab. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berkata: “Berhijablah darinya.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, bukankah ia seorang buta yang tidak dapat melihat kami dan tidak mengenali kami?” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Apakah kalian berdua juga buta? Bukankah kalian berdua melihatnya?” [Dha'if, didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Jilbaabul Mar'atil Muslimaah.] At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”

Sebagian ulama lainnya berpendapat: “Kaum wanita boleh melihat laki-laki bukan mahram asalkan tanpa disertai syahwat seperti yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahih, bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menyaksikan orang-orang Habasyah yang sedang bermain tombak pada hari 'Ied di dalam masjid, sementara 'Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu 'anha juga menyaksikan mereka dari belakang beliau, beliau menutupinya dari mereka hingga 'Aisyah jemu dan pulang.”

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ "Dan memelihara kemaluan mereka,” Sa'id bin Jubair berkata: “Yakni dari perbuatan keji (zina).”

Qatadah dan Sufyan mengatakan: “Dari perkara yang tidak halal bagi mereka.” Muqatil mengatakan: “Dari perbuatan zina.” Abul 'Aliyah mengatakan: “Seluruh ayat dalam al-Qur'an yang disebutkan di dalamnya perintah menjaga kemaluan, maka maksudnya adalah menjaganya dari perbuatan zina, kecuali ayat ini. Maksudnya adalah menjaga agar tidak terlihat oleh seorang pun.”

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka,” yakni janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kepada laki-laki bukan mahram, kecuali perhiasan yang tidak mungkin disembunyikan.

'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Contohnya kerudung, baju luar yaitu pakaian yang biasa dikenakan oleh wanita Arab, yakni baju kurung yang menutupi seluruh tubuhnya. Adapun yang tampak di bagian bawah baju tersebut, maka tiada dosa atas mereka karena hal itu tidak mungkin ditutupi. Sama halnya dengan perhiasan wanita yang tampak berupa kain sarung yang tidak mungkin ditutupi.”

Para ulama lain yang berkata seperti itu di antaranya al-Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Abul Jauza', Ibrahim an-Nakha'i, dan lain-lain. Al-A'masy meriwayatkan dari Sa'id bin Jubair, dari 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu berkaitan dengan firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) nampak dari mereka,” ia berkata: “Yakni wajah, kedua telapak tangan, dan cincinnya.”

Diriwayatkan seperti itu juga dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhu, 'Atha', 'Ikrimah, Sa'id bin Jubair, Abusy Sya'tsaa', adh-Dhahhak, Ibrahim an-Nakha'i, dan selain mereka. Kemungkinan itu merupakan tafsir dari perhiasan yang dilarang untuk ditampakkan seperti yang dikatakan oleh Abu Ishaq as-Sabi'i, dari Abul Ahwash, dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu tentang firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka,” beliau berkata: “Perhiasan seperti anting-anting, gelang tangan, gelang kaki, dan kalung.”

Dalam riwayat lain, masih dari beliau melalui sanad ini juga: “Perhiasan ada dua macam, perhiasan yang hanya boleh dilihat oleh suami, yaitu cincin dan kalung. Dan perhiasan yang dapat dilihat oleh orang lain, yaitu pakaian luar.”

Az-Zuhri berkata: “Kaum wanita hendaklah tidak menampakkan perhiasannya kepada orang-orang yang ALLAH sebutkan dalam ayat di atas yang tidak halal baginya, kecuali kalung, kerudung, dan anting-anting tanpa menyingkap pakaiannya. Adapun terhadap orang lain, ia tidak boleh menampakkannya, kecuali cincin.” Imam Malik meriwayatkan dari az-Zuhri berkaitan dengan firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا "Kecuali yang (biasa) nampak dari mereka,” yakni cincin dan gelang kaki.

Dan kemungkinan Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu dan para ulama yang mengikuti pendapatnya menafsirkan firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا "Kecuali yang (biasa) nampak dari mereka,” dengan wajah dan dua telapak tangan. Itulah tafsir yang populer di kalangan jumhur ulama dan didukung pula oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, dari Khalid bin Duraik, dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwasanya Asma' binti Abi Bakar datang menemui Rasulullah shallalahu 'alaihi wasallam, saat itu ia mengenakan pakaian tipis. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memalingkan wajah darinya dan berkata:

(( يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ ))
“Wahai Asma`, sesungguhnya seorang wanita jika telah haidh (mencapai usia baligh), maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini.” (Beliau mengisyaratkan kepada wajah dan kedua telapak tangannya.) [Akan tetapi, Abu Dawud dan Abu Hatim ar-Razi mengatakan: “Hadits ini mursal.” Khalid bin Duraik belum pernah mendengar dari (berjumpa dengan) 'Aisyah radhiyallahu 'anha, wallahu a'lam.]

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka,” yakni, hendaklah kerudung dibuat lebar hingga menutupi dadanya, gunanya untuk menutupi bagian tubuh di bawahnya seperti dada dan tulang dada serta agar menyelisihi model wanita Jahiliyyah. Al-Khumur adalah bentuk jamak dari kata Al-Khimar, yaitu kain yang digunakan untuk menutupi, yakni menutupi kepala, itulah yang oleh orang banyak disebut kerudung. Berkaitan dengan firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلْيَضْرِبْنَ “Dan hendaklah mereka menutupkan,” Sa'id bin Jubair berkata: “Yakni mengikatnya.”

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ "Kain kudung ke dada mereka,” yakni ke leher dan dada hingga tidak terlihat sedikit pun.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: “Semoga ALLAH merahmati wanita-wanita Muhajirah generasi awal, ketika turun ayat: وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka,” mereka merobek kain-kain dan berkerudung dengannya.”

Ibnu Abi Hatim dari Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata: “Ketika kami berada di sisi 'Aisyah radhiyallahu 'anha dan berkata: 'Kami menyebut wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka.' 'Aisyah berkata: 'Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy memiliki keutamaan. Demi ALLAH, sungguh aku belum melihat wanita yang lebih utama daripada wanita Anshar, yang paling membenarkan Kitabullah dan paling kuat keimanannya kepada wahyu yang diturunkan. Sungguh, ketika turun firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka,” suami-suami mereka pulang menemui mereka dan membacakan ayat yang diturunkan ALLAH ini kepada mereka. Para suami membacakannya kepada isterinya, puterinya, saudara perempuannya dan kepada seluruh karib kerabatnya. Segera saja setiap wanita bangkit dan mengoyak kain-kain mereka lalu menutup tubuh mereka dengannya sebagai pembenaran terhadap Kitabullah dan keimanan mereka kepada wahyu yang diturunkan ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala dalam kitab-Nya. Mereka pun berada di belakang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan mengenakan kerudung penutup kepala seolah-olah burung-burung gagak hinggap di atas kepala mereka.” [Abu Dawud meriwayatkan dari beberapa jalur, dari Shafiyyah binti Syaibah radhiyallahu 'anha.]

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ "Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,"
Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ ”Atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka,” mereka semua adalah mahram bagi seorang wanita, ia boleh menampakkan perhiasannya kepada mereka akan tetapi tanpa bersolek.

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: أَوْ نِسَائِهِنَّ “Atau wanita-wanita Islam,” ia boleh menampakkan perhiasan kepada wanita-wanita Muslimah, bukan kepada wanita-wanita ahli dzimmah (orang kafir yang tinggal di suatu negara dan taat kepada peraturan pemerintah di negara dengan membayar pajak, taat pemerintah, bayar visa, dll). Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Janganlah seorang wanita melihat wanita lainnya kemudian ia menceritakannya kepada suaminya seolah-olah suaminya melihat wanita itu.” [Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih mereka berdua, dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu. Berkaitan dengan firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala أَوْ نِسَائِهِنَّ “Atau wanita-wanita Islam,” Mujahid berkata: “Yakni wanita-wanita Muslimah, bukan wanita-wanita musyrikah. Seorang wanita Muslimah tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada wanita musyrikah, wallahu a'lam.]

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ “Atau budak-budak yang mereka miliki,” sebagian besar ulama mengatakan: “Ia boleh menampakkan perhiasan di hadapan budak-budak wanita maupun pria yang dimilikinya.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, ia menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian (kaum wanita) memiliki budak dalam status mukaatab dan ia (budak itu) memiliki harta untuk menebus dirinya, maka hendaklah ia berhijab darinya.” [Dha'if, didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani di kitab Dha'iiful Jaami' (650).] Abu Dawud meriwayatkannya juga dari Musaddad, dari Sufyan.

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ “Atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita),” yakni seperti pelayan yang tidak se-kufu', sudah pikun atau lemah akal serta tidak ada lagi keinginan dan gairah terhadap wanita. 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu berkata: “Yaitu laki-laki yang sudah pikun dan tidak mempunyai nafsu syahwat lagi.” Mujahid berkata: “Yakni, laki-laki yang idiot.” Ikrimah berkata: “Yakni, laki-laki banci yang tidak berfungsi zakarnya.” Demikian pendapat sejumlah ulama salaf.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk menemuinya, di situ ada saudara laki-lakinya bernama 'Abdullah bin Abi Umayyah dan seorang laki-laki banci. Laki-laki banci itu berkata: “Hai 'Abdullah, ALLAH tidak akan memberi kemenangan bagi kalian besok di Tha-if, hendaklah engkau tidak melewatkan puteri Ghailan karena ia datang dengan empat lipatan dan pergi dengan delapan lipatan.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendengar perkataannya itu, lalu beliau berkata kepada Ummu Salamah radhiyallahu 'anha: “Janganlah orang seperti ini masuk menemuimu.” [Hadits ini diriwayatkan dalam kitab ash-Shahihain.]

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita,” karena masih kecil, mereka belum mengerti tentang seluk beluk wanita, aurat wanita, tutur kata wanita yang lemah lembut dan gaya jalan serta gerak-gerik wanita yang lemah gemulai. Jika anak tersebut masih kecil dan belum paham tentang wanita, maka ia boleh masuk menemui kaum wanita. Adapun bila anak itu telah mencapai usia baligh atau hampir mencapai usia baligh, telah mengetahui tentang wanita dan dapat membedakan antara wanita cantik dan wanita tidak cantik, maka mereka tidak boleh masuk menemui kaum wanita.

Diriwayatkan dalam kitab ash-Shahihain, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id Telah menceritakan kepada kami Laits dari Yazid bin Abu Habib dari Abul Khair dari Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian masuk ke dalam tempat kaum wanita." Lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata, "Wahai Rasulullah, bagamana pendapat Anda mengenai ipar?" beliau menjawab: "Ipar adalah maut." [HR. Bukhari (no.4831), dishahihkan oleh para ulama, via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عُمَرَ وَجَابِرٍ وَعَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَإِنَّمَا مَعْنَى كَرَاهِيَةِ الدُّخُولِ عَلَى النِّسَاءِ عَلَى نَحْوِ مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ وَمَعْنَى قَوْلِهِ الْحَمْوُ يُقَالُ هُوَ أَخُو الزَّوْجِ كَأَنَّهُ كَرِهَ لَهُ أَنْ يَخْلُوَ بِهَا
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Laits dari Yazid bin Abu Habib dari Abu Al Khair dari 'Uqbah bin 'Amir bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian menemui para wanita." Ada seorang Anshar bertanya; "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda dengan saudara ipar?" Beliau menjawab: "Saudara ipar adalah kematian." Abu Isa berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari Umar, Jabir dan 'Amr bin Al Ash." Dia menambahkan; "Hadits 'Uqbah bin 'Amir merupakan hadits hasan sahih. Maksud dibencinya menemui para wanita sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali ketiganya adalah setan." Makna dari ipar, yaitu saudara suami, beliau membencinya berduaan dengan isteri. [HR. At-Tirmidzi (no.1091), dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, via software Lidwa' Ensiklopedia hadits.]

Firman ALLAH Ta'ala: وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ “Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka.” Pada masa Jahiliyyah, kaum wanita berjalan di jalanan dengan mengenakan gelang kaki yang tidak mengeluarkan suara. Lalu ia sengaja menghentakkan kakiknya suapaya kaum lelaki mendengar dentingannya. Lalu ALLAH melarang wanita Mukminah melakukan hal semacam itu. Demikian pula jika ia memakai perhiasan yang tersembunyi lalu digerakkan untuk menampakkannya, maka termasuk dalam larangan ini, berdasarkan firman ALLAH Ta'ala: وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ “Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”

Termasuk di dalamnya larangan memakai parfum dan wewangian ketika keluar dari rumahnya sehingga kaum pria mencium aromanya. Abu 'Isa at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Setiap mata berzina, jika wanita keluar dengan memakai parfum lalu lewat di majelis, maka ia adalah begini dan begini.” Yakni, ia adalah penzina.

أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ يَعْنِي الْحَفَرِيَّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طِيبُ الرِّجَالِ مَا ظَهَرَ رِيحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ وَطِيبُ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيحُهُ
Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sulaiman ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Dawud -yaitu Al Hafari- dari Sufyan dari Al Jurairi dari Abu Nadlrah dari seorang laki-laki dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Parfum laki-laki itu baunya nampak sementara warnanya tidak, dan parfum wanita itu warnanya nampak sementara baunya tidak." [HR. An-Nasa'i dalam Sunan-nya (no.5028), dishahihkan oleh Syaikh Albani, via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي فَرْوَةَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلَا تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Ishaq bin Ibrahim, Yahya berkata, telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Abi Farwah dari Yazid bin Khushaifah dari Busr bin Sa'id dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Siapa pun wanita yang memakai parfum, maka janganlah dia hadir bersama kami dalam shalat Isya', shalat fardhu yang akhir'." [HR. Muslim (no.675) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

Hadits senada diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, hadits ini hasan shahih. Abu Dawud dan an-Nasa'i meriwayatkannya dari hadits Tsabit bin 'Umarah. Termasuk di dalamnya, kaum wanita dilarang berjalan di tengah jalan karena itu termasuk tabarruuj (menonjolkan diri). Abu Dawud meriwayatkan dari Hamzah bin Abi Usaid al-Anshari, dari ayahnya, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (saat beliau berada di luar masjid dan melihat wanita dan pria berbaur di jalan): “Menyingkirlah (kaum wanita), kalian tidak berhak berjalan di bagian tengah jalan. Hendaklah kalian berjalan di bagian pinggir jalan.” Ketika itu kaum wanita mengambil bagian tepi jalan sampai merapat ke tembok sehingga baju mereka tergesek ke tembok karena terlalu rapat.

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Lakukanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu berupa sifat-sifat yang indah dan akhlak-akhlak yang mulia. Tinggalkanlah kebiasaan kaum Jahiliyyah yang memiliki akhlak dan sifat yang tercela karena kemenangan hanya dapat diraih dengan mengerjakan apa yang telah diperintahkan ALLAH dan Rasul-Nya. Wallahul musta'an.

Berkata Ath-Thabary rahimahullahu:
وليلقين خُمُرهنّ …على جيوبهنّ، ليسترن بذلك شعورهنّ وأعناقهن وقُرْطَهُنَّ
“Hendaknya mereka melemparkan khimar-khimar mereka di atas celah pakaian mereka supaya mereka bisa menutupi rambut, leher , dan anting-anting mereka.” (Jami’ul Bayan 17/262, tahqiq Abdullah At-Turky)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:
يعني: المقانع يعمل لها صَنفات ضاربات على صدور النساء، لتواري ما تحتها من صدرها وترائبها؛ ليخالفن شعارَ نساء أهل الجاهلية، فإنهن لم يكن يفعلن ذلك، بل كانت المرأة تمر بين الرجال مسفحة بصدرها، لا يواريه شيء، وربما أظهرت عنقها وذوائب شعرها وأقرطة آذانها. …والخُمُر: جمع خِمار، وهو ما يُخَمر به، أي: يغطى به الرأس، وهي التي تسميها الناس المقانع
“Khimar, nama lainnya adalah Al-Maqani’, yaitu kain yang memiliki ujung-ujung yang dijulurkan ke dada wanita, untuk menutupi dada dan payudaranya, hal ini dilakukan untuk menyelisihi syi’ar wanita jahiliyyah karena mereka tidak melakukan yang demikian, bahkan wanita jahiliyyah dahulu melewati para lelaki dalam keadaan terbuka dadanya, tidak tertutupi sesuatu, terkadang memperlihatkan lehernya dan ikatan-ikatan rambutnya, dan anting-anting yang ada di telinganya. Dan khumur adalah jama’ dari khimar, artinya apa-apa yang digunakan untuk menutupi, maksudnya disini adalah yang digunakan untuk menutupi kepala, yang manusia menyebutnya Al-Maqani’ (Tafsir Ibnu Katsir 10/218, cet. Muassah Qurthubah)

Lihat keterangan yang semakna di kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Al-Baghawy, Tafsir Al-Alusy, Fathul Qadir dll, ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31.
Dan kitab-kitab fiqh seperti Mawahibul Jalil (4/418, cet. Dar ‘Alamil Kutub), Al-Fawakih Ad-Dawany (1/334 cet. Darul Kutub Al-’Ilmiyyah), Mughny Al-Muhtaj (1/502, cet. Darul Ma’rifah) dll.
Demikian pula kitab-kitab lughah (bahasa) seperti Al-Mishbahul Munir (1/248, cet. Al-Mathba’ah Al-Amiriyyah), Az-Zahir fii ma’ani kalimatin nas (1/513, tahqiq Hatim Shalih Dhamin), Lisanul ‘Arab hal:1261, Mu’jamu Lughatil Fuqaha, dll.

Yang intinya bahwa pengertian khimar di dalam surat An-Nur ayat 31 adalah kain kerudung yang digunakan wanita untuk menutup kepala sehingga tertutup rambut, leher, anting-anting dan dada mereka. Sementara itu wajib bagi wanita muslimah mengenakan jilbab setelah mengenakan khimar ketika keluar rumah, sebagaimana tercantum dalam firman Allah ta’ala pada Surat Al-Ahzab ayat 59.

ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا [٣٣:٥٩]
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzaab: 59)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata tentang QS. Al-Ahzaab: 59 dalam tafsirnya (Lihat Kitab Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir yang ditahqiq oleh Dr. 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh dan diterbitkan oleh Mu'assasah Daar al-Hilaal Kairo, Cet. I, Th. 1414H-1994M atau dalam edisi terjemahan Indonesia dengan judul Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7 yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'i, Jakarta hlm. 338-339)

ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman memerintahkan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam untuk memerintahkan wanita (khususnya isteri-isteri dan anak-anak perempuan beliau karena kemuliaan mereka) untuk mengulurkan jilbab mereka, agar mereka berbeda dengan ciri-ciri wanita Jahiliyyah dan ciri-ciri wanita budak. Jilbab adalah ar-rida' (kain penutup) lebih besar dari khimar (kerudung). Itulah yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud, 'Ubaidah, Qatadah, al-Hsan al-Bashri, Sa'id bin Jubair, Ibrahim an-Nakha'i, 'Atha' al-Khurasani dan selain mereka. Jilbab sama dengan izar (kain) saat ini. Al-Jauhari berkata: "Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh."

Seorang wanita dari suku Hudzail berkata ketika berduka cita atas kematian keluarganya:
"Burung-burung elang berjalan mendatanginya dengan tenang
Seperti jalannya gadis-gadis yang mengenakan jilbab-jilbabnya"

'Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu 'Abbas: "ALLAH memerintahkan wanita-wanita kaum Mukminin, jika keluar dari rumah mereka untuk satu keperluan agar menutup wajah mereka dari atas kepala mereka dengan jilbab serta menampakkan satu mata."

Muhammad bin Sirin berkata: "Aku bertanya kepada 'Ubaidah as-Salmani tentang firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Lalu dia menutup wajah dan kepalanya serta menampakkan matanya yang kiri. 'Ikrimah berkata: 'Dia menutup bagian pipinya dengan jilbabnya yang dijulurkan di atasnya.'"

Ibnu Abi Hatim berkata, bahwa Ummu Salamah radhiyallahu 'anha berkata: "Tatkala ayat ini turun, يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka," wanita-wanita Anshar keluar, seakan-akan di atas kepala mereka itu terdapat burung gagak karena ketenangan jalannya. Di atas mereka terdapat pakaian-pakaian hitam yang mereka pakai.

Ibnu Abi Hatim berkata, ayahku bercerita kepadaku, dari Abu Shalih, dari al-Laits, bahwa Yunus bin Zaid berkata: Kami bertanya kepada az-Zuhri: "Apakah budak wanita wajib memakai kerudung, baik dia sudah kawin atau belum kawin?" Beliau menjawab: "Wajib baginya memakai kerudung jika dia sudah kawin, dan (jika belum kawin) ia dilarang berjilbab karena makruh bagi mereka menyamai wanita-wanita merdeka dan muhshan. Mengenai hal tersebut, ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".

As-Suddi berkata dalam firman ALLAH Subahnahu Wa Ta'ala: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ "Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu." Dahulu orang-orang fasik penduduk Madinah keluar di waktu malam di saat kegelapan malam menyusuri jalan-jalan Madinah. Lalu mereka mencari wanita-wanita. Dahulu, rumah-rumah penduduk Madinah sangat sempit. Jika waktu malam tiba, wanita-wanita itu keluar ke jalan-jalan untuk menunaikan hajat mereka. Lalu orang-orang fasik itu mencari-cari mereka. Jika mereka melihat wanita-wanita memakai jilbab, mereka berkata: "Ini wanita merdeka, tahanlah diri dari mereka." Dan jika mereka melihat wanita tidak memakai jilbab, mereka berkata: "Ini adalah budak wanita." Maka mereka pun menggodanya.

Mujahid berkata: "Mereka berjilbab, sehingga mereka dikenal sebagai wanita-wanita merdeka. Maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu dan menggoda."

Firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala: وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا "Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Terhadap apa yang telah berlalu di masa Jahiliyyah sebab mereka tidak tahu hukumnya. Kemudian ALLAH mengancam orang-orang munafik, yaitu mereka yang menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran.

Para ulama berbeda-beda dalam menafsirkan jilbab, ada yang mengatakan sama dengan khimar, ada yang mengatakan lebih besar, dll (lihat Lisanul Arab hal: 649). Dan yang benar –wallahu a’lamu- jilbab adalah pakaian setelah khimar, lebih besar dari khimar, menutup seluruh badan wanita.

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:
والجلباب هو: الرداء فوق الخمار
“Dan jilbab adalah pakaian di atas khimar.” (Tafsir Ibnu Katsir 11/252)

Berkata Al-Baghawy rahimahullahu:
وهو الملاءة التي تشتمل بها المرأة فوق الدرع والخمار.
“Jilbab nama lainnya adalah Al-Mula’ah dimana wanita menutupi dirinya dengannya, dipakai di atas Ad-Dir’ (gamis/baju panjang dalam/daster) dan Al-Khimar.” (Ma’alimut Tanzil 5/376, cet. Dar Ath-Thaibah)

Berkata Syeikhul Islam rahimahullahu:
و الجلابيب هي الملاحف التي تعم الرأس و البدن
“Dan jilbab nama lain dari milhafah, yang menutupi kepala dan badan.” (Syarhul ‘Umdah 2/270)

Berkata Abu Abdillah Al-Qurthuby rahimahullahu:
الجلابيب جمع جلباب، وهو ثوب أكبر من الخمار…والصحيح أنه الثوب الذي يستر جميع البدن. “الجلابيب
adalah jama’ جلباب, yaitu kain yang lebih besar dari khimar…dan yang benar bahwasanya jilbab adalah kain yang menutup seluruh badan.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran 17/230, tahqiq Abdullah At-Turky)

Berkata Syeikh Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullahu:
فقد قال غير واحد من أهل العلم إن معنى : يدنين عليهن من جلابيبهن : أنهن يسترن بها جميع وجوههن ، ولا يظهر منهن شيء إلا عين واحدة تبصر بها ، وممن قال به ابن مسعود ، وابن عباس ، وعبيدة السلماني وغيرهم
“Beberapa ulama telah mengatakan bahwa makna ” يدنين عليهن من جلابيبهن” bahwasanya para wanita tersebut menutup dengan jilbab tersebut seluruh wajah mereka, dan tidak nampak sesuatupun darinya kecuali satu mata yang digunakan untuk melihat, diantara yang mengatakan demikian Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan Ubaidah As-Salmany dan lain-lain.” (Adhwa’ul Bayan 4/288).

Datang dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah:
والمشروع أن يكون الخمار ملاصقا لرأسها، ثم تلتحف فوقه بملحفة وهي الجلباب؛ لقول الله سبحانه: سورة الأحزاب الآية 59 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ الآية.
“Yang disyari’atkan adalah hendaknya khimar menempel di kepalanya, kemudian menutup di atasnya dengan milhafah, yaitu jilbab, karena firman Allah ta’alaa dalam surat Al-Ahzab ayat 59:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/176)

Berkata Syeikh Al-Albany rahimahullahu:
فالحق الذي يقتضِيه العمل بما في آيتي النّور والأحزاب ؛ أنّ المرأة يجب عليها إذا خرجت من دارها أنْ تختمر وتلبس الجلباب على الخمار؛ لأنّه كما قلنا : أسْتر لها وأبعد عن أنْ يصف حجم رأسها وأكتافها , وهذا أمر يطلبه الشّارع … واعلم أنّ هذا الجمع بين الخمار والجلباب من المرأة إذا خرجت قد أخلّ به جماهير النّساء المسلمات ؛ فإنّ الواقع منهنّ إمّا الجلباب وحده على رؤوسهن أو الخمار , وقد يكون غير سابغ في بعضهن… أفما آن للنّساء الصّالحات حيثما كنّ أنْ ينْتبهن من غفلتهن ويتّقين الله في أنفسهن ويضعن الجلابيب على خُمرهن
“Maka yang benar, sebagai pengamalan dari dua ayat, An-Nur dan Al-Ahzab, adalah bahwasanya wanita apabila keluar dari rumahnya wajib atasnya mengenakan khimar dan jilbab di atas khimar, karena yang demikian lebih menutup dan lebih tidak terlihat bentuk kepala dan pundaknya, dan ini yang diinginkan Pembuat syari’at…dan ketahuilah bahwa menggabungkan antara khimar dengan jilbab bagi wanita apabila keluar rumah telah dilalaikan oleh mayoritas wanita muslimah, karena yang terjadi adalah mereka mengenakan jilbab saja atau khimar saja, itu saja kadang tidak menutup seluruhnya… apakah belum waktunya wanita-wanita shalihah dimanapun mereka berada supaya sadar dari kelalaian mereka dan bertaqwa kepada Allah dalam diri-diri mereka, dan mengenakan jilbab di atas khimar-khimar mereka?” (Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah hal: 85-86)

Berkata Syeikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu:
حجابها باللباس، وهو يتكون من: الجلباب والخمار، …فيكون تعريف الحجاب باللباس هو:ستر المرأة جميع بدنها، ومنه الوجه والكفان والقدمان، وستر زينتها المكتسبة بما يمنع الأجانب عنها رؤية شيء من ذلك، ويكون هذا الحجاب بـ الجلباب والخمار
“Hijab wanita dengan pakaian terdiri dari jilbab dan khimar, maka definisi hijab dengan pakaian adalah seorang wanita menutupi seluruh badannya termasuk wajah, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki, dan menutupi perhiasan yang dia usahakan dengan apa-apa yang mencegah laki-laki asing melihat sebagian dari perhiasan-perhiasan tersebut, dan hijab ini terdiri dari jilbab dan khimar.” (Hirasatul Fadhilah 29-30) Sebagian ulama mengatakan bahwa jilbab tidak harus satu potong kain, akan tetapi diperbolehkan 2 potong dengan syarat bisa menutupi badan sesuai dengan yang disyari’atkan (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/178)

Saudariku, dari penjelasan Tafsir QS. An-Nuur: 31 dan QS. Al-Ahzaab: 59 di atas, ada tentang hukum cadar. Bagaimana para wanita-wanita zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memakai cadar. Adapun tentang hukum cadar, termasuk ke dalam masalah ijtihadiyyah dimana para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada yang menyatakan bahwa cadar itu wajib, sunnah, hingga tidak wajib sama sekali, semua pendapat berdasarkan dalil yang sama-sama shahih dan rajih. Namun, yang paling rajih dan diambil oleh mayoritas ulama dan para asatidz ahlus sunnah bahwa hukum cadar adalah lebih ditekankan atau lebih diutamakan untuk dipakai, yaitu sunnah. Namun, aku pribadi mengambil pendapat yang mewajibkan cadar karena mudharat yang ditimbulkan jauh lebih besar jika aku tidak memakai cadar, dibandingkan aku memakai cadar.

Untuk penjelasan lengkap tentang hukum cadar, silakan membeca artikelnya di link berikut:
1. Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan (1)
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-dalil-dalil-ulama-yang-mewajibkan-1.html
2. Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan (2)
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-dalil-dalil-ulama-yang-mewajibkan-2.html
3. Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan (3)
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-dalil-dalil-ulama-yang-tidak-mewajibkan-3.html
4. Hukum Cadar: Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan (4)
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-dalil-dalil-ulama-yang-tidak-mewajibkan-4.html
5. Hukum Cadar: Kesimpulan Antara 2 Pendapat Ulama (5)
http://muslimah.or.id/fikih/hukum-cadar-kesimpulan-antara-2-pendapat-ulama-5.html

Ataupun jika engkau ingin mengatahui kitab-kitab yang membahas tentang hukum cadar, aku rekomendasikan untuk membaca:
1. Kitab Jilbaab Al-Mar'atu Al-Muslimah atau Jilbab Mar'atil Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani atau terjemahan Indonesia yang berjudul Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, yang sudah diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan atau yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'i dengan judul Kriteria Jilbab Muslimah.
2. Kitab Risaalatul Hijaab karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin atau terjemahan Indonesia yang berjudul Hukum Cadar, yang diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan.
3. Kitab Al-Fatawa al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, Syaikh Abdullah bin Humaid, Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, dan Lajnah Daimah Lil Ifta' Arab Saudi atau dalam terjemahan Indonesia yang berjudul Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Jilid 3, yang diterbitkan oleh Pustaka Darul Haq.
4. Kitab Al-Fatawa asy-Syar'iyyah Fii al-Masa'il al-'Ashriyyah Min Fatawa Ulama' al-Balad al-Haram oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, dan Lajnah Da'imah Lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta' atau dalam terjemahan Indonesia yang berjudul Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 3, yang diterbitkan oleh Pustaka Darul Haq.

-Bersambung, insya ALLAH-

Maraji':
- AL-QUR'AN
-
Kitab Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir yang ditahqiq oleh Dr. 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh dan diterbitkan oleh Mu'assasah Daar al-Hilaal Kairo, Cet. I, Th. 1414H-1994M atau dalam edisi terjemahan Indonesia dengan judul Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6 dan Jilid 7 yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'i
- Kitab Jilbaab Al-Mar'atu Al-Muslimah atau Jilbab Mar'atil Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani atau terjemahan Indonesia yang berjudul Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, yang sudah diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan atau yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'i dengan judul Kriteria Jilbab Muslimah.
- Kitab Risaalatul Hijaab karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin atau terjemahan Indonesia yang berjudul Hukum Cadar, yang diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan.
- Kitab Al-Fatawa al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, Syaikh Abdullah bin Humaid, Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, dan Lajnah Daimah Lil Ifta' Arab Saudi atau dalam terjemahan Indonesia yang berjudul Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Jilid 3, yang diterbitkan oleh Pustaka Darul Haq.
- Kitab Al-Fatawa asy-Syar'iyyah Fii al-Masa'il al-'Ashriyyah Min Fatawa Ulama' al-Balad al-Haram oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, dan Lajnah Da'imah Lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta' atau dalam terjemahan Indonesia yang berjudul Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 3, yang diterbitkan oleh Pustaka Darul Haq.

- Catatan pribadi dari faedah ta'lim Ustadzuna Abu Usamah di Mesjid Amar Ma'ruf Bekasi.

Dari Saudarimu yang Mencintaimu karena ALLAH Azza Wa Jalla,
Ummu Zahratin Nisa Lathifah Annisa Nur Fitriyani Bintu Bambang Setiawan
Ditulis pada Minggu, 31 Juli 2011
Selesai pada Selasa, 15 Agustus 2011
Di Rumahku, Kebebasanku, Bekasi.

Mau tahu kelanjutannya...?

^MENJADI WANITA DAMBAAN ISLAM^ (bagian 1)


إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له من يضلل فلا هاديله، وأشهد أن لا إلـه إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
Segala puji bagi Allah, kita memujinya, memohon pertolongan dan ampunan kepadaNya kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejelekan amalan-amalan kita, barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah hamba dan utusan Allah.

يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله حق تقاته، ولاتموتن إلاوأنتم مسلمون۝
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (QS. Ali ‘Imran : 102)

يأيهاالناس اتقواربكم الذى خلقكم من نفس وحدة وخلق منهازوجها وبث منهمارجالاكثيرا ونساءۚ واتقوا الله الذى تساءلون به والأرحامۚ إن الله كان عليكم رقيبا۝
“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripadanya keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) NamaNya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silahturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisa’ :1)

يأيهاالذين ءامنوا اتقوا الله وقولوقولاسديدا۝ يصلح لكم أعملكم ويغفرلكم ذنوبكمۗ ومن يطع الله ورسوله، فقدفازفوزاعظيما۝
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu sosa-dosamu dan barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzaab : 70-71)

Amma ba’du :
فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشرالأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فيالنار.
“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu ditempatnya di Neraka.”

*Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah, yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Sahabatnya. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Sahabat Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097, 2118), an-Nasa-I (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214, VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini shahih.


Mengapa kita harus menjadi wanita yang didambakan Islam???
1. Banyak orang-orang yang tidak bertakwa kepada ALLAH yang mengatakan bahwa Islam tidak memuliakan wanita, cacian dan hinakan yang mereka lontarkan. Sungguh kotor perkataan mereka itu.
2. Banyak di antara wanita yang tidak bertakwa kepada ALLAH.
3. Kebanyakan penduduk neraka adalah wanita.

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الْمُصْطَلِقِ عَنْ ابْنِ أَخِي زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَتْ
خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ فَإِنَّكُنَّ أَكْثَرُ أَهْلِ جَهَنَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ قَال سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ يُحَدِّثُ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَخِي زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا أَصَحُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي مُعَاوِيَةَ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ وَهِمَ فِي حَدِيثِهِ فَقَالَ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنْ ابْنِ أَخِي زَيْنَبَ وَالصَّحِيحُ إِنَّمَا هُوَ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ إِبْنِ أَخِي زَيْنَبَ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ رَأَى فِي الْحُلِيِّ زَكَاةً وَفِي إِسْنَادِ هَذَا الْحَدِيثِ مَقَالٌ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي ذَلِكَ فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِينَ فِي الْحُلِيِّ زَكَاةَ مَا كَانَ مِنْهُ ذَهَبٌ وَفِضَّةٌ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ و قَالَ بَعْضُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ ابْنُ عُمَرَ وَعَائِشَةُ وَجَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ لَيْسَ فِي الْحُلِيِّ زَكَاةٌ وَهَكَذَا رُوِيَ عَنْ بَعْضِ فُقَهَاءِ التَّابِعِينَ وَبِهِ يَقُولُ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ
Telah menceritakan kepada kami Hannad telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dari Abu Wa'il dari Amru bin Al Harits bin Mushthaliq dari anak saudaranya Zainab istri Abdullah dari Zainab istri Abdullah bin Mas'ud dia berkata: Rasululah Shallallaahu 'alaihi wasallam berpidato dihadapan para wanita, beliau bersabda: "Wahai para wanita bersedekahlah walaupun dengan perhiasan kalian, karena sesungguhnya kebanyakan penghuni neraka Jahannam terdiri dari para wanita." Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepada kami Abu Daud dari Syu'bah dari A'masy dia berkata, saya mendengar Abu Wa`il meriwayatkan sebuah hadits dari Amru bin Al Harits anak saudaranya Zainab dari Zainab istri Abdullah bin Mas'ud dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam seperti hadits diatas. Abu 'Isa berkata, riwayat ini lebih shahih dari hadits Abu Mu'awiyah, karena teradapat wahm (keraguan) pada hadits Abu Mu'awiyah, dia meriwayatkan dari Amru bin Harits dari anak saudaranya Zainab, namun yang benar ialah dari Amru bin Harits anak saudaranya Zainab. Hadits ini telah diriwayatkan dari Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam sesungguhnya dia berpendapat wajibnya zakat perhiasan, namun pada sanad hadits ini terdapat cela. Para ulama berbeda pendapat, sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wa salam dan tabi'in seperti Sufyan Ats Tsauri berpendapat wajibnya zakat perhiasan yang terbuat dari emas dan perak, dan sebagian sahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wa salam seperti Ibnu Umar, Aisyah, Jabir bin Abdillah dan Malik bin Anas serta sebagian fuqaha seperti Malik bin Anas, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq berpendapat tidak wajibnya zakat perhiasan. [HR. At-Tirmidzi (no.575) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]

Keistimewaan Islam, yaitu bahwa Islam memberikan kepada semua orang untuk diberikan hak-haknya. Di antaranya yang diberikan haknya adalah wanita. Saudariku, tahukah engkau bahwa saat Islam belum datang atau pada saat zaman Jahiliyyah, wanita itu tidak ada harganya, tidak mendapatkan haknya, tidak memperoleh harta warisan dan yang paling utama bahwa wanita pada zaman Jahiliyyah dianggap aib oleh masyarakatnya karena wanita tidak berperang, tidak memperoleh ghanimah (harta rampasan perang). Anak-anak perempuan yang lahir akan dikubur hidup-hidup, seakan-akan anak-anak perempuan merupakan aib yang harus dimusnahkan. ALLAH berfirman:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِالْأُنثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ [١٦:٥٨] يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ [١٦:٥٩]
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl: 58-59)

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ [٨١:٨] بِأَيِّ ذَنبٍ قُتِلَتْ [٨١:٩]
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS. At-Takwir: 8-9)

Dan dari al-Mughirah bin Syu'bah radhiyallahu 'anhu: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya ALLAH telah mengharamkan bagi kalian untuk durhaka kepada para ibu, mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan, serta melarang dan menuntut. Dan ALLAH tidak suka ucapan qiila wa qaalah (banyak bergosip), banyak bertanya, dan menghamburkan harta.” Muttafaq 'alaih. [SHAHIH: Diriwayatkan oleh Bukhari (5975) dalam al-Adab, Muslim (593) dalam al-Aqdhiyah.]

Tak hanya itu saja, pada zaman Jahiliyyah, para wanita dijadikan sebagai harta warisan setelah suaminya meninggal dunia layaknya barang yang tidak bernilai. Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Apabila ayah atau mertua seorang laki-laki meninggal dunia, maka laki-laki itu lebih berhak mendapatkan bekas istri ayah atau mertuanya tersebut. Laki-laki itu berkuasa total atas perempuan tersebut, jika ingin menahannya maka ia bisa melakukannya atau mengurungnya sampai sang perempuan menebus diri dengan maharnya. Atau, apabila perempuan tersebut meninggal maka ia mengambil seluruh hartanya.” Menikahi istri-istri ayah sendiri (setelah ayah meninggal dunia) bukan sesuatu yang asing dalam tradisi masyarakat Jahiliyyah. Orang-orang Arab Badui banyak melakukan hal tersebut. ALLAH Azza Wa Jalla kemudian melarangnya dengan firman-Nya:

وَلَا تَنكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا [٤:٢٢]
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An-Nisa': 22)

Pada zaman Jahiliyyah, masalah pernikahan begitu bebas. Sama sekali tidak ada batasan jumlah istri. Demikian pula halnya dengan talak/cerai. Sang suami berhak mentalak dan merujuk sekehendak hatinya, kapan saja ia mau melakukannya. Apabila sang suami meninggal dunia, maka sang istri harus berdiam diri di rumah selama satu tahun penuh. Dalam masa-masa ini, ia dilarang memakai minyak wangi, mengenakan pakaian indah, menyisir rambut, dan memotong kukunya.

Zainab radhiyallahu 'anha menuturkan bahwasanya ia mendengar Ummu Salamah radhiyallahu 'anha berkata: “Suatu hari, seorang perempuan datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu bertanya: 'Wahai Rasulullah, anak perempuanku ditinggal mati suaminya dan matanya sakit. Bolehkah aku mencelakinya?' Beliau menjawab: 'Jangan.' 'Sesungguhnya 'iddah-nya adalah empat bulan sepuluh hari. Pada masa Jahiliyyah, salah seorang perempuan di antara kalian melemparkan kotoran unta di awal tahun,' lanjut beliau.” Humaid bertanya kepada Zainab: “Apa yang dimaksud dengan 'melemparkan kotoran unta di awal tahun'?” Zainab menjawab: “Apabila seorang perempuan ditinggal mati suaminya, ia harus mengurung diri di sebuah rumah kecil yang sempit, mengenakan pakaian yang paling buruk, dan dilarang memakai mewangian, selama satu tahun penuh. Setelah itu, ia dibawakan seekor keledai, kambing, atau burung, untuk ia usap. Semua yang tersentuh kulitnya pasti mati. Selanjutnya, ia keluar dari rumah itu, diberi kotoran, lalu ia melemparkannya. Sesudah itu, ia bisa dinikahi orang lain sehabis memakai mewangian atau lainnya yang ia inginkan.” [HR. Al-Bukhari (no.5337) dan Muslim (no.1489).]

Saudariku, tahukah engkau bahwa di negara-negara lain pun wanita tidak ada harganya? Diperlakukan sebagai budak, dan perlakuan biadab lainnya. Akan aku nukilkan bagaimana dahulu bangsa-bangsa lain memperlakukan wanita dari kitab al-Mar'ah bainal Jahiliyyah wal Islam karya Muhammad an-Nashir, Khaulah Durwaisy (hlm. 1-5), 'Audatul Hijaab (II/47), dan al-Mar'ah, maadza ba'das Suquuth (hlm.17) atau dalam kitab Zhulmul Mar'ah karya Muhammad bin 'Abdullah al-Habdan yang diterbitkan oleh Daarul Muhaddits, Riyadh, Arab Saudi atau dalam edisi terjemahan Indonesia dengan kitab sama yang berjudul Melawan Kezhaliman terhadap Wanita karya Muhammad bin 'Abdullah al-Habdan (hlm. 32-36) yang diterbitkan Pustaka Imam Syafi'i, Jakarta, Indonesia.

Perempuan di kalangan bangsa Yunani
Di antara bentuk kezhaliman terhadap perempuan pada waktu itu adalah:
1. Kaum perempuan mereka permalukan dan hinadinakan, sampai-sampai mereka menyebutnya sebagai kotoran dan makhluk yang lahir dari perbuatan syaithan.
2. Mereka memperjualbelikan di pasar-pasar.
3. Hak mereka untuk memperoleh warisan dan mengelola harta ditiadakan.

Perempuan di kalangan bangsa Romawi
Beberapa model kezhaliman terhadap perempuan pada kala itu antara lain:
1. Seorang ayah tidak harus menisbatkan nama anak perempuannya kepada dirinya. Bayi perempuan kala itu ditaruh di bawah telapak kaki sang ayah. Apabila sang ayah mengangkatnya, berarti ia menerimanya. Apabila tidak, berarti sang ayah menolaknya. Bayi perempuan yang ditolak lalu ditelantarkan begitu saja sampai mati kelaparan, kehausan, kepanasan tersengat sinar matahari, atau kedinginan saat musim dingin.
2. Seumur hidupnya, anak perempuan harus terus-menerus tunduk kepada ayahnya.
3. Kaum laki-laki bangsa Romawi menyebut perempuan sebagai makhluk tidak bernyawa. Oleh karena itu, mereka menyiksanya dengan berbagai macam cara. Ada yang menyiramkan minyak panas ke tubuhnya. Ada yang mengikatnya di tiang. Bahkan, ada yang mengikat para perempuan baik-baik dengan tali ke ekor-ekor kuda, lalu menyeretnya jauh-jauh hingga nyawanya melayang.

Perempuan di kalangan bangsa China klasik
Di antara bentuk kezhaliman terhadap perempuan pada masa itu adalah:
1. Seorang laki-laki berhak menjual istrinya layaknya seorang budak perempuan.
2. Apabila suami seorang perempuan meninggal dunia, maka keluarganya berhak menguasai dirinya layaknya harta warisan.
3. Seorang suami berhak mengubur istrinya hidup-hidup.

Perempuan di kalangan ummat Hindu
Bentuk-bentuk kezhaliman terhadap perempuan saat itu di antaranya:
1. Seorang istri harus ikut mati pada hari suaminya mati. Ia juga harus dibakar hidup-hidup berbarengan dengan jasad suaminya dalam satu api.
2. Menurut ummat Hindu, perempuan dianggap sebagai makhluk yang selamanya tidak berdaya.

Perempuan di kalangan bangsa Persia
Beberapa bentuk kezhaliman terhadap perempuan pada masa itu di antaranya:
1. Bolehnya menikahi perempuan-perempuan mahram (ibu kandung, ibu susuan, saudara kandung (kakak/adik kandung), saudara sepersusuan, bibi dari pihak ibu kandung & ayah kandung, nenek kandung).
2. Bolehnya memiliki banyak gundik dan perempuan simpanan (selingkuhan).
3. Mengasingkan perempuan yang tengah haidh ke sebuah tempat yang jauh di luar kota. Tidak ada seorang pun yang boleh berinteraksi dengannya, kecuali para pelayan yang mengantarkan makanan kepadanya.
4. Laki-laki berhak memperlakukan perempuan seenaknya sendiri, sampai-sampai ia berhak memutuskan hukuman mati atau membiarkan perempuan tetap hidup.

Perempuan di kalangan kaum Yahudi
Di antara bentuk kezhaliman terhadap perempuan di saat itu adalah:
1. Menurut sebagian mereka, seorang anak perempuan berada di kasta pembantu.
2. Seorang ayah berhak menjual anak perempuannya, sementara sang anak tidak bisa berbuat apa-apa.
3. Anak perempuan tidak berhak mendapatkan harta warisan, kecuali ayahnya tidak memiliki cucu laki-laki. Selama masih ada cucu laki-laki, maka si ayah tidak akan memberikan harta warisan seumur hidupnya kepada anak perempuannya.
4. Perempuan dianggap sebagai sosok terkutuk sebab ia yang telah merayu Adam.
5. Perempuan yang sedang haidh tidak boleh duduk di majelis, tidak boleh diberi makanan, dan tidak boleh menyentuh bejana agar tidak menjadi najis.
6. Sebagian kaum laki-laki mereka mendirikan kemah untuk perempuan yang sedang haidh. Kemudian, mereka meletakkan roti dan air minum di depannya. Ia akan terus disitu sampai suci dari haidhnya.

Perempuan di kalangan ummat Nashrani
Bentuk kezhaliman terhadap perempuan kala itu di antaranya:
1. Mereka menyebut perempuan sebagai gerbang syaithan. Mereka juga mengganggap bahwa berinteraksi dengannya merupakan perkara najis.
2. Mereka merendahkan, melecehkan, dan menginjak-injak kehormatan perempuan, sampai-sampai mereka mengadakan kongres untuk membahas layak tidaknya perempuan disebut manusia. Juga, membahas ada tidaknya roh dalam dirinya. Jika ia mempunyai roh, apakah roh tersebut bersifat hewani atau insani? Jika bersifat insani, apakah kedudukannya sama dengan roh kaum pria atau lebih rendah? Akhirnya, kongres itu memutuskan bahwa perempuan adalah manusia hanya saja ia diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki.
3. Dalam Undang-Undang Perancis, perempuan dianggap tidak produktif.
4. Dalam Undang-Undang Inggris, seorang suami berhak menjual istrinya sendiri.
5. Undang-Undang Inggris terus berlaku seperti itu sampai kira-kira pertengahan satu abad yang lalu. Perempuan tidak memperoleh hak-hak individualnya sama sekali. Ia tidak berhak atas harta benda hasil usahanya. Ia juga tidak berhak memiliki apa pun hingga pakaian-pakaian yang dikenakannya.

Saudariku, sungguh aku merasa sangat sedih dan miris karena wanita-wanita zaman sekarang pun sebenarnya masih dianggap tidak ada harganya dengan dijadikannya para wanita sebagai bisnis. Coba engkau perhatikan, di iklan-iklan, bungkus shampoo, bungkus sabun, selalu wanita yang dijadikan objek untuk mendongrak penjualan produk-produk tersebut. Tidakkah engkau sadar, wahai saudariku bahwa wanita telah diinjak-injak harga dirinya hanya karena dunia. Bentuknya memang berbeda dengan zaman Jahiliyyah dahulu, namun hakikatnya tetap sama bahwa wanita tidak ada harganya... Wal iyyadzubillah...


Saudariku, ALLAH Ta'ala Yang Maha Adil menciptakan wanita dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Ia butuh kelembutan, belaian sayang dari para suaminya karena wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Sikap lemah lembut ini merupakan rahmat dari ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana kalam-Nya ketika memuji Rasul-Nya yang mulia:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظاًّ غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ
“Karena disebabkan rahmat Allah lah engkau dapat bersikap lemah lembut dan lunak kepada mereka. Sekiranya engkau itu adalah seorang yang kaku, keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)


Dalam tanzil-Nya, Allah subhanahu wa ta`ala juga memerintahkan seorang suami untuk bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-Nisa: 19)


Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan dan penampilan kalian sesuai kadar kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat hal yang sama. Allah ta`ala berfirman dalam hal ini:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf.” (Al-Baqarah: 228 )


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ, وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku).”

Termasuk akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau sangat baik hubungannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin berlomba, untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)

Masih menurut Al-Hafidz Ibnu Katsir: “(Termasuk cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya pun kembali ke rumah. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu pakaian. Beliau meletakkan rida (semacam pakaian ihram bagian atas)-nya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan kain/ sarung. Dan biasanya setelah shalat ‘Isya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)


Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullah berkata: “Ayat Allah ta`ala: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
(Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma`ruf) meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya bagi suami untuk mempergauli istrinya dengan cara yang ma`ruf, menemani dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya, termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian dan semisalnya. Dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan.” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri menjadikan ukuran kebaikan seseorang bila ia dapat bersikap baik terhadap istrinya. Beliau pernah bersabda:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:
خِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
karena para istri adalah makhluk Allah yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)


Di sisi lain, beliau shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk berhias dengan kelembutan, sebagaimana tuntunan beliau kepada istrinya Aisyah:
عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ
“Hendaklah engkau bersikap lembut .” (Shahih, HR. Muslim no. 2594)


Dan beliau shallallahu alaihi wasallam menyatakan:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (menjadikan sesuatu itu indah). Dan tidaklah dihilangkan kelembutan itu dari sesuatu melainkan akan memperjeleknya.” (Shahih, HR. Muslim no. 2594)

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6024)


وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى سِوَاهُ
“Dan Allah memberikan kepada sikap lembut itu dengan apa yang tidak Dia berikan kepada sikap kaku/ kasar dan dengan apa yang tidak Dia berikan kepada selainnya.” (Shahih, HR. Muslim no. 2593)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan sikap lemah lembut (ar-rifq dengan makna yang telah disebutkan, red) dan penekanan untuk berakhlak dengannya. Serta celaan terhadap sikap keras, kaku, dan bengis. Kelembutan merupakan sebab setiap kebaikan. Yang dimaksud dengan Allah memberikan kepada sikap lembut ini adalah Allah memberikan pahala atasnya dengan pahala yang tidak diberikan kepada selainnya.

Al-Qadhi berkata: “Maknanya dengan kebaikan tersebut akan dimudahkan tercapainya tujuan-tujuan yang diinginkan dan akan dimudahkan segala tuntutan, maksud dan tujuan yang ada. Di mana hal ini tidak dimudahkan dan tidak disediakan untuk yang selainnya.” (Syarah Shahih Muslim, 16/145)


Wanita butuh dibimbing dan diluruskan karena ia merupakan makhluk yang diciptakan dari tulang yang bengkok, jangan dibiarkan karena jika dibiarkan, ia akan bertambah bengkok. Namun meluruskannya butuh kelembutan dan kesabaran agar ia tidak patah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
المرْأَةُ كَالضِّلَعِ إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا, وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ
“Wanita itu seperti tulang rusuk, bila engkau meluruskannya engkau akan mematahkannya. Dan bila engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau dapat bersenang-senang dengannya namun pada dirinya ada kebengkokan.”

Demikian disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5184) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 1468 ). Dan hadits ini diberi judul bab oleh Al-Imam Al-Bukhari dengan bab Al-Mudarah ma`an Nisa (Bersikap baik, ramah dan lemah lembut terhadap para istri).
Rasul yang mulia, shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bersabda:

وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاهُ, فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ, وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri) karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas. Bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Namun bila engkau biarkan begitu saja (tidak engkau luruskan) maka dia akan terus menerus bengkok. Karena itu berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1468 )


Dalam riwayat Muslim disebutkan:
وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَكَسْرُهَا طَلاقُهَا
“Dan bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan patahnya adalah dengan menceraikannya.”


إِنَّ الْمَرْأَةََ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ, لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقَةٍ, فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ, وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا))
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, ia tidak bisa lurus bersamamu di atas satu jalan. Jika kamu menikmatinya maka kamu menikmatinya dalam kondisi bengkok, namun bila anda ingin meluruskannya, maka boleh jadi patah dan patahnya adalah talak.” (Shohih, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shohih-nya: 3631)

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah berkata: “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (فَاسْتَوْصُوْا) maksudnya adalah aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik dengan para wanita (istri). Maka terimalah wasiatku ini berkenaan dengan diri mereka, dan amalkanlah.”

Beliau melanjutkan: “Dan dalam sabda Nabi (بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ) seakan-akan ada isyarat agar suami meluruskan istrinya dengan lembut, tidak berlebih-lebihan hingga mematahkannya. Dan tidak pula membiarkannya hingga ia terus menerus di atas kebengkokannya.” (Fathul Bari, 9/306)

Dalam hadits ini juga ada beberapa faidah, di antaranya disukai untuk bersikap baik dan lemah lembut terhadap istri untuk menyenangkan hatinya, Di dalam hadits ini juga menunjukkan bagaimana mendidik wanita dengan memaafkan dan bersabar atas kebengkokan mereka. Siapa yang tidak berupaya meluruskan mereka (dengan cara yang halus), dia tidak akan dapat mengambil manfaat darinya. Padahal, tidak ada seorang pun yang tidak butuh dengan wanita untuk mendapatkan ketenangan bersamanya dan membantu dalam kehidupannya. Hingga seakan-akan Nabi mengatakan: “Merasakan kenikmatan dengan istri tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar terhadapnya”. Dan satu faidah lagi yang tidak boleh diabaikan adalah tidak disenangi bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya tanpa sebab yang jelas. (Lihat Fathul Bari, 9/306, Syarah Shahih Muslim, 10/57)

Saudariku, sesungguhnya engkau adalah perhiasan yang tak ternilai harganya...

Engkau adalah permata.

Engkau adalah intan.

Engkau adalah berlian.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Dunia hanyalah perhiasan, dan tidak ada sedikitpun dari perhiasan dunia yang lebih utama daripada wanita yang shalihah." [HR. Muslim (no.1467) kitab ad-Radhaa', an-Nasa-i (no.3232) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no.1885) kitab an-Nikaah, dan Ahmad (no.6531).]


حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ أَخْبَرَنِي شُرَحْبِيلُ بْنُ شَرِيكٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيَّ يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdullah bin Numair Al Hamdani telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid telah menceritakan kepada kami Haiwah telah mengabarkan kepadaku Syurahbil bin Syarik bahwa dia pernah mendengar Abu Abdurrahman Al Hubuli telah bercerita dari Abdullah bin 'Amru bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah." [HR. Muslim (no.2668) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]


-Bersambung, Insya ALLAH-

Maraji':
- AL-QUR'AN
-
kitab al-Mar'ah bainal Jahiliyyah wal Islam karya Muhammad an-Nashir, Khaulah Durwaisy (hlm. 1-5), 'Audatul Hijaab (II/47), dan al-Mar'ah, maadza ba'das Suquuth (hlm.17) atau dalam kitab Zhulmul Mar'ah karya Muhammad bin 'Abdullah al-Habdan yang diterbitkan oleh Daarul Muhaddits, Riyadh, Arab Saudi atau dalam edisi terjemahan Indonesia dengan kitab sama yang berjudul Melawan Kezhaliman terhadap Wanita karya Muhammad bin 'Abdullah al-Habdan (hlm. 32-36) yang diterbitkan Pustaka Imam Syafi'i, Jakarta, Indonesia.
- Catatan pribadi dari faedah ta'lim Ustadzuna Abu Usamah di Mesjid Amar Ma'ruf Bekasi.

Dari Saudarimu yang Mencintaimu karena ALLAH Azza Wa Jalla,
Ummu Zahratin Nisa Lathifah Annisa Nur Fitriyani Bintu Bambang Setiawan
Ditulis pada Minggu, 31 Juli 2011
Selesai pada Selasa, 15 Agustus 2011
Di Rumahku, Kebebasanku, Bekasi.

Mau tahu kelanjutannya...?
Abul Qa’qa’ mengatakan

و من هنا ينبغي للمرء أن يبحث له عن زميل صالح, و خل جاد ناصح, بحيث يكونان متلازمين في أغلب الأوقات, و يحث كل منهما صاحبه على الطلب و التحصيل, و يشد كل منهما من أزر الآخر و يسد كل منهما الآخر إن أخطأ, و يعينه و يحفزه إن أصاب و وفق, و يغيب كل منهما للآخر ما حفظه من العلم, و يقرآن سوياً, و يراجعان سويا, و يبحثان المسائل, و يحققا سويا

“Seseorang harus mencari kawan yang shalih, rajin dan suka menasehati, agar (ia) selalu bisa bersamanya pada sebagian besar waktunya, saling memotivasi dalam belajar dan saling menguatkan semangat sesamanya, mengingatkannya bila ia salah, dan mendukungnya bila ia benar dan mengevaluasi apa yang telah ia hafal, baca, diskusikan, dan kaji tentang sebuah permasalahan dengan selalu bersama-sama."

[كيف تتحمس لطلب العلم الشرعي/Kaifa Tatahammas Li Thalabil ‘Ilmi Asy-Syar’i/. محمد بن صالح بن إسحاق الصيعري / Muhammad ibn Shalih ibn Ishaq Ash-Shi’ri /. 1419 H. فهرسة مكتبة الملك فهد الوطنية أثناء النشر /Fahrasah Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyyah Ats-naa`a An-Nasyr.]