إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له من يضلل فلا هاديله، وأشهد أن لا إلـه إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
Segala puji bagi Allah, kita memujinya, memohon pertolongan dan ampunan kepadaNya kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejelekan amalan-amalan kita, barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah hamba dan utusan Allah.
يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله حق تقاته، ولاتموتن إلاوأنتم مسلمون
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (QS. Ali ‘Imran : 102)
يأيهاالناس اتقواربكم الذى خلقكم من نفس وحدة وخلق منهازوجها وبث منهمارجالاكثيرا ونساءۚ واتقوا الله الذى تساءلون به والأرحامۚ إن الله كان عليكم رقيبا
“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripadanya keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) NamaNya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silahturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisa’ :1)
يأيهاالذين ءامنوا اتقوا الله وقولوقولاسديدا يصلح لكم أعملكم ويغفرلكم ذنوبكمۗ ومن يطع الله ورسوله، فقدفازفوزاعظيما
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu sosa-dosamu dan barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzaab : 70-71)
Amma ba’du :
فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشرالأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل
ضلالة فيالنار.
“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu ditempatnya di Neraka.”
*Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah, yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Sahabatnya. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Sahabat Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097, 2118), an-Nasa-I (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214, VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini shahih.
=> Bukan berfungsi sebagai perhiasan
Berdasarkan firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala dalam QS. An-Nuur: 31 وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya .”
Dan juga firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala dalam QS. AL-Ahzab: 33 وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Ada tiga golongan yang tidak akan ditanya (karena mereka sudah pasti termasuk orang-orang yang binasa atau celaka): Seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah dan mendurhakai imannya serta meninggal dalam keadaan durhaka; seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu ia mati; serta seorang waniya yang ditinggal pergi suaminya, padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiga itu tidak akan ditanya.” [Dikeluarkan oleh al-Hakim (I: 119) dan Ahmad (VI: 19) dari hadits Fadhallah bin Ubaid dengan sanad shahih. As-Suyuthi dalam kitab Al-Jamii' menyatakan hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, Abu Ya'la, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu'ab. Al-Hakim berkata, “Menurut syarat keduanya, dan aku tidak melihat adanya cacat.” Hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi, sedangkan Ibnu Asakir menghasankannya dalam kitab Madhut Tawadhu' (V: 88/1).]
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. [Demikian seperti yang disebutkan dalam Fathul Bayan (VII: 274). Selanjutnya ia mengatakan, “Ada yang berpendapat bahwa tabarruj adalah kegenitan, berjingkrak-jingkrak, dan bergaya ketika berjalan. Namun pendapat dan definisi seperti ini adalah lemah sekali. Yang paling tepat adalah definisi yang pertama di atas.”]
Yang dimaksud dengan perintah mengenakan jilbab adalah menutupi perhiasan wanita. Dengan demikian tidaklah masuk akal jika jilbab itu sendiri berfungsi sebagai perhiasan. Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Al-Kaba'ir (hal.131) mengatakan, “Di antara perbuatan yang menyebabkan wanita itu mendapatkan laknat adalah menampakkan perhiasan, emas dan mutiara yang berada di bawah niqab (tutup kepalanya), memakai berbagai wangi-wangian seperti: al-misk, al-'anbar, dan at-tibb apabila keluar rumah, memakai berbagai kain celupan, memakai pakaian sutera, memanjangkan baju dan melebarkan serta memanjangkan lengannya (hingga melampaui batas). Semuanya itu termasuk jenis tabarruj yang dimurkai oleh ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala, dan pelakunya dimurkai di dunia maupun di akhirat. Lantaran perbuatan ini banyak dilakukan oleh kaum wanita, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: “Saya melongok ke neraka dan saya lihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.”
=> Kainnya harus tebal, tidak tipis
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat. (1) Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakannya untuk memukul orang. (2) Wanita-wanita berpakaian, tetapi sama juga dengan bertelanjang (karena pakaiannya terlalu minim, terlalu tipis atau tembus pandang, terlalu ketat, atau pakaian yang merangsang pria karena sebagian auratnya terbuka), berjalan dengan berlenggok-lenggok, mudah dirayu atau suka merayu, rambut mereka (disasak) bagaikan punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga. Padahal bau surga itu dapat tercium dari begini dan begini." [HR. Muslim (no.3971) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]
“Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka itu adalah kaum wanita yang terkutuk.”
Di dalam hadits lain terdapat tambahan:
لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan memperoleh baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan (jarak) sekian dan sekian.” [Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu'Jam Ash-Shaghir (hal.232) dari hadits Ibnu Amru dengan sanad shahih, sedangkan hadits yang lain tersebut dikeluarkan oleh Muslim dari riwayat Abu Hurairah. Telah dijelaskan oleh Syaikh Albani dalam Ats-Tsamar Al-Mustathab fii Fiqhis Sunnati wal Kitab dalam Al-Hadits Ash-Shahihah (1326) dan juga dalam Takhrij Ahadits Al-Halal wa Al-Haram (85).]
Ibnu Abdil Barr berkata, “Yang dimaksud Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang.” [Dikutip oleh As-Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik (III:103).]
Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahwasanya Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu pernah memakaikan baju Qubthiyah (jenis pakaian ala Mesir yang tipis dan berwarna putih, barangkali nama ini dinisbatkan kepada suku Qibthi yang tinggal di negeri Mesir.), kemudian Umar berkata, “Jangan kamu pakaikan baju itu untuk istri-istrimu!” Seseorang kemudian bertanya, “Wahai Amirul Mukminin! Telah saya pakaikan ia kepada istriku, dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidak melihatnya sebagai pakaian yang tipis!” Maka Umar menjawab, “Sekalipun tidak tipis, namun ia mensifati (menggambarkan lekuk tubuh).” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (II: 234-235) dan ia mengatakan sebagai hadits mursal. Yakni karena adanya keterputusan antara Abdullah bin Abi Salamah dengan Umar Al-Khaththab. Akan tetapi rijalnya tsiqah. Hadits ini dikuatkan oleh perkataan Al-Baihaqi sendiri setelah menyebutkan hadits ini, “Diriwayatkan pula oleh Muslim Al-Biththin dari Abi Shalih dari Umar.”]
Atsar di atas menunjukkan bahwa pakaian yang tipis atau yang dapat mensifati dan menggambarkan lekuk-lekuk tubuh adalah dilarang. Yang tipis (transparan) itu lebih parah dari yang menggambarkan lekuk tubuh (tapi tebal). Oleh karena itu 'Aisyah radhiyallahu 'anha pernah berkata, “Yang namanya khimar adalah yang dapat menyembunyikan kulit dan rambut.” [Disebutkan oleh Al-Baihaqi (II: 235) secara mu'allaq. Al-Baihaqi mengatakan, “Kami riwayatkan dari 'Aisyah bahwasanya ia pernah ditanya mengenai khimar, lalu ia menjawab, … (seperti di atas).]
Syamisah berkata, “Aku pernah mengunjungi 'Aisyah yang mengenakan pakaian siyad yang tebal, baju, khimar serta nuqbah (sejenis rok) yang diberi warna (diwenter) dengan usfur.” [Dikeluarkan oleh Ibnu Sa'd (VIII: 70) dengan sanad shahih sampai pada Syamisah, yaitu Syamisah binti Aziz bin Amir Al-Atakiyah Al-Bashriyah. Al-Hafizh mengatakan, “Ia maqbulah (haditsnya sapat diterima).”]
Karena itulah para ulama mengatakan, “Diwajibkan menutup aurat dengan pakaian yang tidak dapat mensifati warna kulit, berupa pakaian yang cukup tebal atau yang terbuat dari kulit. Menutupi aurat dengan pakaian yang masih dapat menampakkan warna kulit (umpamanya dengan pakaian yang tipis) adalah tidak dibolehkan karena hal itu tidak memenuhi kriteria “menutupi”.” [Disebutkan dalam kitab Al-Muhadzdzab (III: 170 dengan Syarh Al-Majmu'.]
=> Harus longgar, tidak ketat sehingga tidak dapat menggambarkan sesuatu dari tubuhnya
Usamah bin Zaid pernah berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberiku baju Qubthiyah yang tebal (biasanya baju Qubthiyah itu tipis) yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku, “Mengapa kamu tidak mengenakan baju Qubthiyah?” Aku menjawab, “Aku pakaikan baju itu pada istriku.” Nabi lalu bersabda, “Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam di balik Qubthiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya.” [Dikeluarkan oleh Ad-Dhiya' Al-Maqdisi dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah (I: 441), Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan. Lihat lebih lengkap tentang hadits ini pada kitab Ats-Tsamar Al-Musththab karya Syaikh Al-Albani.]
'Aisyah radhiyallahu 'anha pernah berkata: “Seorang wanita dalam mengerjakan shalat harus mengenakan tiga pakaian: baju, jilbab, dan khimar.” Adalah 'Aisyah pernah mengulurkan izar-nya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya.” [Dikeluarkan oleh Ibnu Sa'd (VIII: 71) dengan isnad shahih berdasarkan syarat Muslim.]
'Aisyah mensyaratkan hal itu agar tidak ada bagian dari pakaian yang dikenakannya itu dapat menggambarkan tubuhnya. Perkataan 'Aisyah “harus” merupakan bukti (dalil) mengenai wajibnya hal itu. Pendapat yang senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu: “Jika seorang wanita menunaikan shalat, maka ia harus mengenakan seluruh pakaiannya: baju, khimar, dan milhafah (mantel).” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf (II: 26/1).]
=> Tidak diberi mewangian atau parfum
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى أَخْبَرَنَا ثَابِتُ بْنُ عُمَارَةَ حَدَّثَنِي غُنَيْمُ بْنُ قَيْسٍ عَنْ أَبِي مُوسَى
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ الْمَرْأَةُ فَمَرَّتْ عَلَى الْقَوْمِ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ كَذَا وَكَذَا قَالَ قَوْلًا شَدِيدًا
Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya berkata, telah mengabarkan kepada kami Tsabit bin Umarah berkata, telah menceritakan kepadaku Ghunaim bin Qais dari Abu Musa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jika seorang wanita memakai wewangian, lalu sengaja melewati suatu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia adalah begini dan begini." Beliau mengatakan itu dengan intonasi yang keras." [HR. Abu Dawud (no.3642), dihasankan oleh Syaikh Al-Albani, via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ عَنْ ثَابِتِ بْنِ عُمَارَةَ الْحَنَفِيِّ عَنْ غُنَيْمِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ أَبِي مُوسَى
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا يَعْنِي زَانِيَةً
وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Al Qattan dari Tsabit bin 'Umarah Al Hanafi dari Ghunaim bin Qais dari Abu Musa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Setiap mata memiliki bagian dari zina, dan wanita yang memakai wewangian kemudian lewat di perkumpulan (lelaki) berarti dia begini dan begini." Maksud beliau berbuat zina. Dan dalam bab ini ada juga hadits dari Abu Hurairah, Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih. [HR. At-Tirmidzi (no.2710), dihasankan oleh Syaikh Al-Albani, via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]
حَدَّثَنَا النُّفَيْلِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو عَلْقَمَةَ قَالَ حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ خُصَيْفَةَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلَا تَشْهَدَنَّ مَعَنَا الْعِشَاءَ قَالَ ابْنُ نُفَيْلٍ عِشَاءَ الْآخِرَةِ
Telah menceritakan kepada kami An nufaili dan Sa'id bin Manshur keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Abu Alqamah ia berkata; telah menceritakan kepadaku Yazid bin Khushaifah dari Busr bin Sa'id dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wanita mana saja yang terkena bakhur (wewangian), maka jangan sekali-kali ia shalat isya bersama kami." Ia (perawi) berkata, "Maksudnya adalah shalat isya yang akhir (larut malam)." [HR. Abu Dawud (no.3644), dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]
Dari Musa Al-Asy'ari bahwasanya ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: “Siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” [Dikeluarkan oleh An-Nasa'i (II: 283), Abu Dawud (II: 192), At-Tirmidzi (IV: 17 dengan syarahnya Al-Mubarakfuri), Al-Hakim (II: 396), Ahmad (IV: 400 dan 413), Ibnu Khuzaimah (III: 91/1681) dan Ibnu Hibban (1474-Mawarid), At-Tirmidzi menyatakan hasan shahih, sedangkan Al-Hakim menyatakan shahihul isnad dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa isnadnya hasan.]
Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka janganlah sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian!” [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu 'Awanah dalam kedua kitab Shahih-nya, juga dikeluarkan oleh Ash-Shabus Sunan dan lainnya. Tentang sanad kedua hadits ini telah kami bicarakan dalam kitab Ats-Tsamar Al-Musththab dan dalam Ash-Shahihah (1094).]
Dari Musa bin Yasar, dari Abu Hurairah: “Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangiannya menerpanya. Maka Abu Hurairah berkata, 'Wahai hamba ALLAH! Apakah kamu hendak ke masjid?' Ia menjawab. 'Ya!' Abu Hurairah kemudian berkata lagi, 'Apakah kamu mengenakan minyak wangi?' Ia menjawab, 'Ya.' Abu Hurairah berkata lagi, 'Pulanglah saja, lalu mandilah! Karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang wanita keluar menuju masjid, sedangkan bau wewangiannya menghembus maka ALLAH tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi (baru kemudian shalat ke masjid).” [Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi (III: 133 dan 246) melalui jalur Al-Auza'i dari Musa bin Yasar. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam kitab Jilbab Mar'atil Muslimah bahwa isnadnya adalah shahih bila yang dimaksud dengan Ibnu Yasar di sini adalah Al-Kalbi Al-Madani, karena ia mempunyai riwayat dari Abu Hurairah. Akan tetapi jika yang dimaksudkan adalah dengan Ibnu Yaar itu adalah Al-Urduni maka hadits ini munqathi'. Ini kelihatannya yang lebih mendekati. Para ahli hadits menyebutkan bahwa di antara yang mengambil periwayatannya adalah Al-Auza'i dan hadits ini adalah salah satu riwayat hidupnya bahwa ia memursalkan hadits dari Abu Hurairah. Wallahu a'lam.]
Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi. Para ulama bahkan mengikutkan sesuatu yang semakna dengannya, seperti pakaian indah, perhiasan yang tampak dan hiasan (aksesoris) yang megah, serta ikhtilath (berbaur) dengan kaum laki-laki.” [Lihat Fathul Baari (II: 279).]
Ibnu Daqiq Al-'Id berkata, “Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki.” [Dikutip oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadir dalam mensyarah hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.]
Syaikh Al-Albani mengatakan dalam kitab Jilbab Mar'atil Muslimah, “Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu jauh lebih haram dan lebih besar dosanya. Al-Haitsami dalam kitab Az-Zawajir (II: 37) menyebutkan bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai harum-haruman dan berhias adalah termasuk perbuatan kaba'ir (dosa besar), meskipun suaminya mengizinkannya.”
Perlu diketahui bahwa hadits-hadits ini adalah bersifat umum yang meliputi setiap waktu. Hanya saja di dalam hadits yang ketiga di atas disebutkan waktu secara khusus, yaitu waktu Isya' yang akhir, karena fitnah ketika itu jelas lebih besar dan lebih berbahaya. Maka jangan sampai disalahpahami bahwa keluarnya kaum wanita selain waktu ini dianggap boleh. Ibnu Malik berkata, “Yang jelas bahwa waktu tersebut disebut secara khusus karena saat itu adalah sudah gelap dan jalanan pun sudah sepi, sedangkan bau harum itu dapat membangkitkan birahi, sehingga kaum wanita jauh lebih tidak bisa aman dari fitnah pada saat-saat seperti itu. Berbeda dengan waktu lainnya, seperti Shubuh dan Maghrib yang agak terang. Sudah jelas bahwa memakai wewangian itu menghalangi seorang wanita untuk mendatangi masjid secara mutlak.” [Dinukil oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Mirqaat (II: 71).]
=> Tidak menyerupai pakaian laki-laki
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria.” [Dikeluarkan oleh Abu Dawud (II: 182), Ibnu Majah (I: 588), Al-Hakim (IV: 19), dan Ahmad (II: 325) dari jalan Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya, dari Abu Hurairah. Al-Hakim berkata, “Shahih menurut syarat Muslim” dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (1455-1456 – Mawarid), Al-Mundziri dalam At-Targhib (II: 105-106) dan Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (II: 98) mengatakannya sebagai diriwayatkan oleh An-Nasa'i. Barangkali dalam As-Sunnan Al-Kubra. Selanjutnya kitab tersebut dicetak dan memang ternyata hadits ini terdapat di dalamnya (V: 398). Kemudian Asy-Syaukani berkata, “Para perawinya adalah para perawi Ash-Shahih.”
Dari Abdullah bin Amru yang berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidak termasuk golongan kami, para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita.” [Dikeluarkan oleh Ahmad (II: 199-200), Abu Nu'aim dalam kitab Al-Hilyah (Hilyatul Auliya' wa Thabaqat Al-Ashfiyyaa) (III: 321).]
Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaknat kaum pria yang bertingkah seperti wanita dan kaum wanita yang bertingkah seperti laki-laki. Beliau bersabda, “Keluarkanlah mereka dari rumah kalian. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun mengeluarkan si fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan.”
Dalam lafadz lain: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria.” [HR. Bukhari (X: 274), Abu Dawud (II: 305), Ad-Darimi (II: 280-281), Ahmad (no.1982, 2066, dan 2123) dari jalan Hisyam Ad-Dustuwai dari Yahya bin Abi Katsir, dari Ikrimah, dari Ibnu 'Abbas. At-Tirmidzi (IV: 16-17) dan dishahihkannya, Ibnu Majah (I: 589), Ath-Thayalisi (no.2679), Al-Bukhari (X: 273), Adu Dawud (II: 182), dan Ahmad (no.2263, 3391, 3060, 3151, dan 4358).]
Abdullah bin Umar, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ وَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ الْمُتَشَبِّهَةُ بِالرِّجَالِ وَالدَّيُّوثُ
“Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan ALLAH tidak akan memandang mereka kelak pada hari kiamat, orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, seorang wanita yang bertingkah seperti laki-laki dan menyerupai laki-laki dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu).” [HR. An-Nasa'i (I: 357), Al-Hakim (I: 72) dan (IV: 146-147), Al-Baihaqi (X: 226) dan Ahmad (no.6180) dari dua jalan yang shahih dari Abdullah bin Yasar, budak Ibnu Umar, dari Salim dari Ibnu Umar dengan hadits tersebut. Al-Hakim berkata, “Isnadnya shahih.” Penilaiannya ini disepakati oleh Adz-Dzahabi.]
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ يَعْنِي ابْنَ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ أَخِيهِ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَسَارٍ مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَشْهَدُ لَقَدْ سَمِعْتُ سَالِمًا يَقُولُ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ وَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ الْمُتَشَبِّهَةُ بِالرِّجَالِ وَالدَّيُّوثُ وَثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ وَالِدَيْهِ وَالْمُدْمِنُ الْخَمْرَ وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى
Telah menceritakan kepada kami Ya'qub telah menceritakan kepada kami Ashim bin Muhammad yakni Ibnu Zaid bin Abdillah bin Umar bin Khaththab dari saudaranya Umar bin Muhammad dari Abdullah bin Yasar (budak Ibnu Umar) saya menyaksikan, saya mendengar Salim berkata, Abdullah Radliyallahu'anhuma berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Ada tiga golongan yang tidak masuk surga dan Allah tidak melihat mereka kelak pada hari kiamat yaitu, seorang yang durhaka kepada kedua orangtuanya, seorang wanita yang menyerupai laki-laki dan Dayyuts. Dan tiga golongan yang Allah tidak melihat mereka kelak pada hari kiamat yaitu, seorang yang durhaka kepada kepada kedua orangtuanya, pecandu khamer dan orang yang mengungkit-ngungkit pemberian." [HR. Ahmad (no. 5904) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَالْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالَ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ فَأَخْرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا
“Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum laki-laki, beliau bersabda: "Keluarkanlah mereka dari rumah kalian." Ibnu Abbas berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga pernah mengeluarkan fulan begitu juga Umar pernah mengeluarkan si fulan. [HR. Ahmad (no.1902) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]
حَدَّثَنِي يَزِيدُ أَخْبَرَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا
“Telah menceritakan kepada kami Yazid telah mengabarkan kepada kami Hisyam dari Yahya dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas; bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaknat laki-laki yang meniru wanita (banci) dan wanita yang meniru laki-laki (tomboy), beliau bersabda: "Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengeluarkan fulan, dan Umar juga mengeluarkan fulan. [HR. Ahmad (no.2016) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim dalam kitabnya (Fiqhus Sunnah lin Nisaa'i wa Maa Yajibu an Ta'rifahu Kullu Muslimatin min Ahkaam atau dalam terjemahan Indonesia yang berjudul Fiqih Sunnah Wanita Jilid 2, terbitan Pustaka Ibnu Katsir, hal. 155-156) menjelaskan tentang hukum celana panjang bagi wanita: “Celana panjang adalah musibah paling jelek yang menimpa banyak kaum wanita (semoga ALLAH memberikan petunjuk kepada mereka), walaupun celana panjang tersebut menutupi aurat, hanya saja pakaian tersebut mencetaknya yang bisa menimbulkan daya tarik bagi kaum pria, dan menggairahkan syahwat, terutama warna, bentuk, dan macamnya yang beraneka ragam. Sementara engkau tahu bahwa di antara syarat pakaian seorang wanita yang sesuai dengan syara' adalah pakaian tersebut tidak sempit sehingga tidak membentuk keindahan tubuh, sampai-sampai celana panjang menjadi pakaian yang lebih memberikan daya tarik daripada pakaian yang pendek. Bisa jadi celana tersebut sangat ketat, atau warnanya sama dengan warna kulit sehingga seseorang berkhayal bahwa wanita tersebut tidak memakai apa-apa. Ini adalah kemaksiatan yang sangat menyeluruh. Oleh karena itu, seorang wanita tidak dibolehkan memakai celana panjang kecuali jika dipakai di hadapan suaminya (selama tidak menyerupai pakaian pria) dan tidak keluar ke hadapan mahram, apalagi orang lain (asing). Tidak mengapa ia memakainya di dalam pakaian yang menutupinya (abaya) karena celana tersebut bisa lebih menjaga untuk tidak terbuka, terutama ketika sedang mengendarai mobil dan yang semisalnya. Wallahu a'lam.
=> Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir
ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam QS. Al-Hadiid: 16
۞ أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ [٥٧:١٦]
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadiid: 16)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Al-Iqtidha' (hal. 43): “Firman ALLAH, “Janganlah mereka seperti...” merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, disamping merupakan larangan khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan.”
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini (IV: 310), berkata: “Karena itu, ALLAH melarang orang-orang yang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun cabang.”
ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ [٢:١٠٤]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah: 104)
Al-Hafizh Ibnu Katsir (I: 148) berkata: “ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala melarang hamba-hambaNya yang beriman untuk menyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata untuk tujuan mengejek (semoga laknat ALLAH ditimpakan kepada mereka). Jika mereka ingin mengatakan, “Dengarlah kami!”, mereka mengatakan “Raa'ina” sebagai plesetan dari kata “ru'unah” (artinya ketotolan). Sebagaimana firman ALLAH Subhanahu Wa Ta'ala:
مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَٰكِن لَّعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا [٤:٤٦]
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): "Raa'ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: "Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis.” (QS. An-Nisa: 46)
لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (QS. Al-Mujadillah: 22)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَس
“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Abu An Nadhr berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah menceritakan kepada kami Hassan bin Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: \"Barangsiapa bertasyabuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka." [HR. Abu Dawud (no.3512) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]
=> Bukan libas syuhrah (pakaian untuk mencari popularitas)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ عِيسَى عَنْ شَرِيكٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ الْمُهَاجِرِ الشَّامِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ فِي حَدِيثِ شَرِيكٍ يَرْفَعُهُ قَالَ
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ زَادَ عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ قَالَ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isa berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Awanah. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Muhammad -yaitu Ibnu Isa- dari Syarik dari Utsman bin Abu Zur'ah dari Al Muhajir Asy Syami dari Ibnu Umar perawi berkata: dalam hadits Syarik yang ia marfu'kan ia berkata, "Barangsiapa memakai baju kemewahan (karena ingin dipuji), maka pada hari kiamat Allah akan mengenakan untuknya baju semisal. Ia menambahkan dari Abu Awanah, "lalu akan dilahab oleh api neraka." Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Awanah ia berkata, "Yaitu baju kehinaan." [HR. Abu Dawud (no.1511) via software Lidwa' Ensiklopedia Hadits.]
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya ALLAH mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.” [HR. Abu Dawud (II: 172) dan Ibnu Majah (II: 278-279) dari jalan Abu 'Awanah dari Utsman bin Al-Mughirah, dari Al-Muhajir dari Umar radhiyallahu 'anhu.]
Syaikh Al-Albani mengatakan dalam kitabnya Jilbab Mar'atil Muslimah: “Libas Syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakaian tersebut mahal, yang dipakai oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun pakaian yang bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dan dengan tujuan riya'.”
Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (II: 94), “Ibnul Atsir berkata, Syuhrah artinya terlihatnya sesuatu. Maksud dari libas syuhrah adalah pakaiannya terkenal di kalangan orang-orang mengangkat pandangan mereka kepadanya. Ia berbangga terhadap orang lain dengan sikap angkuh dan sombong.”
Asy-Syaukani berkata, “Hadits ini menunjukkan diharamkannya mengenakan pakaian popularitas. Hadits ini tidak dikhususkan untuk pakaian mahal saja. Pakaian popularitas itu bisa berkenaan dengan orang miskin yang sengaja memakai pakaian yang berbeda dari pakaian masyarakat secara umum, agar orang-orang melihat dan kagum kepadanya, serta menganggapnya sebagai orang yang zuhud. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Ruslan. Jika pakaian ini ditujukan untuk meraih popularitas di kalangan masyarakat, maka tidak ada perbedaan antara pakaian mahal dan pakaian murah, antara yang sesuai dengan pakaian orang lain dan yang berbeda. Jadi, yang dipakai sebagai patokan adalah tujuan memakainya, sekalipun tidak sesuai dengan kenyataan.”
KESIMPULAN:
1. Jilbab itu hendaklah menutup seluruh badan, kecuali wajah dan dua telapak tangan (adapun tentang masalah cadar, para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, ada yang mengatakan wajib dan ada yang mengatakan sunnah, namun semuanya sepakat bahwa cadar merupakan syariat Islam dan bukan bid'ah karena para istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam & para shahabiyyah juga mengenakan cadar), seperti yang telah dijelaskan secara terperinci di atas.
2. Jilbab bukan merupakan perhiasan, justru jilbab adalah menutup perhiasan jadi janganlah memakai jilbab yang menggambar perhiasan seperti warna yang mencolok, pernak-pernak, dan aksesoris.
3. Tidak tipis dan tidak menampakkan bentuk tubuh
4. Tidak disemprot minyak wangi-wangian
5. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
6. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
7. Bukan merupakan pakaian untuk mencari popularitas
-Bersambung, insya ALLAH-
Maraji':
- AL-QUR'AN
- Kitab Jilbaab Al-Mar'atu Al-Muslimah atau Jilbab Mar'atil Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani atau terjemahan Indonesia yang berjudul Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, yang sudah diterbitkan oleh Pustaka At-Tibyan atau yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'i dengan judul Kriteria Jilbab Muslimah.
- Kitab Fiqhus Sunnah lin Nisaa-i wa maa Yajibu an Ta'rifahu Kullu Muslimatin min Ahkaam karya Syaikh Abu Kamal bin as-Sayyid Salim, penerbit Al-Maktabah at-Taufiqiyyah atau dalam terjemahan Indonesia berjudul Ensiklopedia Fiqih Wanita Jilid 2 karya Syaikh Abu Kamal bin as-Sayyid Salim, penerbit Pustaka Ibnu Katsir.
- Catatan pribadi dari faedah ta'lim Ustadzuna Abu Usamah di Mesjid Amar Ma'ruf Bekasi.
Ummu Zahratin Nisa Lathifah Annisa Nur Fitriyani Bintu Bambang Setiawan
Ditulis pada Minggu, 31 Juli 2011
Selesai pada Selasa, 15 Agustus 2011
Di Rumahku, Kebebasanku, Bekasi.
Mau tahu kelanjutannya...?